Jumat, 08 Juni 2012

fungsi dari saput poleng di bali


PERANAN SAPUT POLENG
DALAM KEHIDUPAN UMAT
Telah disebutkan bahwa kedudukan saput poleng penting dalam kegiatan umat Hindu. Berdasarkan kedudukan itu, maka timbullah peranan bagi yang memakainya. Peranan Isaput poleng akan diungkap melalui pengkajian terhadap pemakaian saput poleng oleh : pecalang, Jro Dalang, Balian Desa (pengobat tradisional), dikenakan pada pelinggih (bangunan suci), pada arca atau patung-patung tertentu, dililitkan pada pohon tertentu, dililitkan pada kulkul (kentongan), dikenakan pada tokoh-tokoh itihasa  (tokoh-tokoh dalam wiracarita Hindu) dan pada pemakaian lainnya. Berikut ini diuraikan secara deskriptif pemakaian saput poleng dalam beberapa kegiatan saja sebagai sample, selanjutnya dari data yang ada dibuat analisis untuk mengambil suatu simpulan.
1)    Pemakaian Saput Poleng pada Pecalang
Sesuai dengan teori structural fungsional dapat dikatakan bahwa masyarakat Bali merupakan suatu system masyarakat yang kompleks, yang didalamnya terdapat bagian-bagian sebagai subsistemnya. Keadaan subsistemnya itu sangat terkait satu sama lainnya, artinya apabila salah satu subsistemnya terguncang maka akan berpengaruh pada subsistem lainnya. Dengan demikian keadaan masyarakat sebagai sistemnya yang lebih besar juga kena pengaruh tersebut. Satuan terkecil system masyarakat Bali adalah Desa Pekraman atau Desa Adat. Sebagai sebuah system kemasyarakatan. Desa Pekraman  terdiri dari berbagai subsistem misalnya : karma/warga banjar, awig-awig (hukum adat), prajuru/pengurus, paruman/musyawarah, pecalang/petugas keamanan desa adapt, kesinoman/petugas khusus, organisasi pengairan (subak), organisasi ekonomi pasar sekaha-sekaha atau kelompok khusus pekerjaan tertentu, dan institusi lainnya.
Menurut Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman, disebutkan bahwa Desa Pekraman adalah kesatuan masyarakat hokum adapt di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau  kahyangan desa  yang mempunyai wilayah tertenru dan harta kekayaan serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan Desa Pekraman  merupakan kesatuan wilayah dengan suatu tradisi dan tata krama pergaulan hidup berdasarkan Agama Hindu, sehingga merupakan satu kesatuan tertutup khusus untuk masyarakat Bali yang beragama Hindu. Desa Pekraman adalah suatu kesatuan wilayah (palemahan) yang diikat oleh kahyangan tiga (pura yang berjumlah tiga/parahyangan) dan didukung oleh masyarakat beragama Hindu (pawongan). Tujuan hidup umat Hindu adalah untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia ini (jagadhita) serta menyatunya atma dengan Brahman (Tuhan) yaitu tercapainya moksa. Dalam kaitan inilah mat hindu di Desa Pekraman perlu melaksanakan ajaran agama untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan parahyangan, pawongan dan palemahan.
Persepi setiap orang dalam mencapai tujuan hidupnya tak dapat disama-ratakan, karena memang demikian ciri manusia yang dipengaruhi unsure-unsur tri guna dengan kadar yang berbeda-beda. Ditambah lagi adanya berbagai kepentingan yang berbeda dalam mendapatkan sumber daya yang sama, maka peluang terjadinya konflik di masyarakat sangat besar terjadi, karena itu tejadi kekacauan. Upaya kearah itu telah dilakukan umat Hindu di Desa Pekraman yaitu dengan dibentuk pecalang. Institute  pecalang  berperan besar dalam menentukan jalannya Desa Pekraman, disamping peranan institusi-institusi lainnya.
Dalam konteks penelitian ini akan dikaji keberadaan pacalang. Pecalang adalan satuan tugas (satgas) keamanan tradisional masyarakat Bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, baik di tingkat banjar pekraman dan atau wilayah Desa Pekraman (Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 pasal 1 ayat 17). Organisasi pecalang  ini merupakan salah satu institusi dalam masyaraakt yang mempunyai tugas seperti lembaga keplisian dalam struktur kenegaraan. Menurut Widnyani dan I Ketut Widia (2002 : 35) kata pecalang berasal dari kata calang (Bahasa Bali) yang berarti tajam indranya. Pecalang artinya orang yang tajam indranya, tajam penglihatannya, tajam pendengarannya, melebihi orang lainnya. Dengan modal dasar seperti itu diharapkan para pecalang dapat mengemban tugasnya dengan baik.
Dewa Anom Sudira (8 Mei 2004) mengatakan proses pemilihan anggota/petugas pecalang adalah melalui paruman desa/banjar pekraman (hasil musyawarah), cakap lahir batin, dan disucikan dengan upacara mejaya-jaya (upcara untuk memohon kemenangan), selanjutnya diberi tugas sebagai pengaman dilingkungan Desa Pekraman. Warga yang berhak menjadi pecalang adalah warga Desa Pekraman tersebut, dengan kata lain tidak boleh warga dari luar Desa Pekraman menjadi pecalang. Cakap mengandung pengertian sudah dewasa, baik dari segi umur maupun mental. Kecakapan ini diperlukan sehubungan dengan tugas yang akan diemban memerlukan tanggung jawab yang berat, karena menyangkut keselamatan masyarakat luas. Kewajiban melaksanakan majaya-jaya menjadi peting untuk memberikan kekuatan spiritual kepada yang bersangkutan.
Menurut Widnyani dan I Ketutu Widia (2002 : 360 dalam Lontar Purwadigama disebutkan ada dua jenis pecalang yaitu : pecalang sekala dan pecalang niskala. Pecalang sekala adalah pecalang yang kelihatan secara kasat mata sedangkan pecalang niskala adalah pecalang yang diyakini ada secara kasat mata (catatan penulis ; masih perlu diteliti sloka tersebut karena tidak ditulis Widnyani dan Widia).
Pecalang sekala dapat dikelompokkan menjadi lima macam yaitu :
(1)   Pecalang Desa Pekraman atau Pecalang banjar pekraman dikenal dengan nama Jagabhaya Desa, bertugas mengamankan wilayah Desa Pekraman,
(2)   Pecalang Subak disebut penglima Toya, bertugas mengamankan pengaturan pengairan sawah,
(3)   Pecalang Segara disebut Pecalang Bendega, bertugas mengamankan wilayah nelayan/pantai,
(4)   Pecalang tabuh rah disebut juga Sawung Tanggur.
Pecalang niskala diyakini sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keharmonisan dunia, yang berbeda dengan Desata nawasanga. Pecalang niskala antara lain :
(1)   Pecalang Ring Purwa (Arah Timur) bernama Sang Jogor manik atau disebut juga Bhagawan Penyarikan,
(2)   Pecalang Ring Daksina (Arah Selatan) bernama Sang Dorakala disebut juga Bhagawan Tembang Pengarah,
(3)   Pecalang Ring Pascima (Arah Barat) bernama Sang Citrangkara disebut juga Bhagawan Anglurah,
(4)   Pecalang Ring Utara (Arah Utara) disebut Bhagawan Wiswakarma.
Dalam lontar yang sama, disebut bahwa empat jenis pecalang niskala tersebut dilengkapi lagi empat jenis pecalang niskala dalam kawasan diagonal arah mata angin yaitu :ring Ersanya (Timur Laut) pecalangnya adalah Bhuta Adiraksa, Ring Gneyan (Tenggara) pecalangnya adalah bhuta Sariraksa, Ring Neriti (Barat Daya) pecalangnya adalah Bhuta Astiraksa, dan ring Wayabya (barat Laut) pecalangnya adalah Bhuta Paduraksa (Suparta, 2001 : 11).
Ketika para pecalang melaksanakan tugasnya, sebagai ciri khasnya mereka memakai atribut dan busana yang telah ditentukan. Menurut Widnyani dan I Ketut Widia (2002 : 43-44) dalam Lontar Purwadigma (catatan ; perlu diteliti lagi karena tidak disebutkan slokanya) dinyatakan bahwa seorang pecalang setidak-tidaknya mengenakan udeng/destar (ikat kepala) dengan bentuk khusus yang berbeda dengan udeng yang dikenakan patih sebagai pejabat kerajaan, mawastra akancut nyotot pertiwi (memakai kain/kamben dengan ujung kain menusuk tanah), mekampuh poleng (memakai saput poleng), anyungkalit keris (menyelipkan keris di pinggang), dan masumpang waribang (menyelipkan bunga kembang sepatu/pucuk rejuna yang berwarna merah ditelinganya). Pada kehidupan nyata masyarakat Hindu di Bali, secara umum para pecalang sudah mengikuti yang telah digariskan dalam lontar tersebut, kadang-kadang ditambah lagi beberapa perlengkapan sesuai dengan kemajuan jaman sekarang, misalnya dilengkapi peluit/sempritan, pentungan, alat komunikasi radio (handy talky), dan sebagainya.
Dari keterangan para informan terungkap pemakaian saput poleng yang menjadi cirri khas para pecalang mengandung arti bahwa seorang pecalang seharusnya selalu memperhatikan keadaan sekitarnya, dengan tujuan agar dapat mengandalkan keamanan sesuai tugas yang telah dibebankan kepadanya. Pecalang semestinya bercermin pada saput poleng yang dikenakannya, mengetahuinya adanya rwabineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutnya melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi sehingga ketertiban Desa Pekraman dapat diwujudkan.
Pecalang sepatutnya mampu nyelem-putihang gumi, dalam arti mampu menjaga dan mengarahkan masyarakat dari kekacauan menuju kedamaian seperti yang dicita-citakan bersama. Nyoman Kartikayasa (15 Juni 2004) mengartikan pemakaian saput poleng oleh para pecalang.dikatakan bahwa seseorang yang telah memakai saput poleng dan menyatakan diri bersedia mengemban tugas sebagai pecalang, berarti orang itu telah berani mengambil resiko terhadap akibat-akibat yang mungkin timbul dari tugasnya itu. Dengan kata lain, seorang pecalang  sudah memahami tugasnya untuk mengamankan suatu keadaan yang kacau, dalam hal ini segala resiko yang sangat berbahaya sudah menghadang di depan mata. Untuk menghadapi bahaya tersebut maka seorang pecalang harus memiliki kekuatan lebih dibandingkan orang-orang disekitarnya. Secara tersembunyi menandakan pecalang yang memakai saput poleng berarti mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Pemakaian saput poleng yang paling umu digunaka adalah saput poleng sudhamala dengan hiasan tepi di bagian bawahnya, atau saput poleng tridatu dengan hiasan tepi dibawahnya. Hiasan tepi tersebut mengandung makna bahwa pecalang adalah seorangmanusia biasa yang masih memiliki batas-batas kemampuan tertentu, artinya tepi itu merupakan batas kemampuan manusia. Saput poleng tridatu yang berwarna putih, hitam dan merah merupakan simbolik bahwa manusia masih dipengaruhi oleh tri guna, yaitu satwa, rajah dan tamah (Made Wena, 16 juni 2004). Hiasan tepi saput poleng para pecalang yang paling umum berwarna merah, sejalan dengan warna merah pucuk rejuna yang diselipkan di telinganya. Merah merupakan simbolik keberanian, keperkasaan yang menyiratkan kemampuan lebih.
Berbeda dengan halnya saput poleng yang dikenakan pada pelinggih sebagai simbolik pecalang niskala kain ini tidak memakai hiasan tepi, artinya pecalang niskala diyakini memiliki kemampuan yang tanpa tepi, tanpa batas. Saput poleng yang umum dikenakan pada pelinggih pecalang niskala adalah saput poleng rwabhineda dan saput poleng sudhamala. Saput poleng rwabhineda merupakan simbolik bahwa pecalang niskala memiliki kemampuan membedakan buruk dan baik kemudian memilih yang terbaik. Saput poleng sudhamala mengandung arti simbolik bahwa pecalang niskala memiliki kemampuan untuk menjembatani/mengharmoniskan antara yang buruk dengan yang baik, kemudian dapat mengarahkannya pada kegiatan yang baik, sedangkan saput poleng tri datu sebaiknya tidak digunakan. Alasannya adalah bahwa manifestasi Tuhan sebagai pecalang niskala tidak terkena pengaruh tri guna, karena itulah saput poleng tridatu tidak dijadikan ciri khas pelinggih pecalang niskala. Hanya manusia yang kena pengaruh triguna, sehingga saput poleng tridatu dipakai oleh pecalang sekala. Pemakaian saput poleng pada pelinggih pecalang niskala akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya, yaitu pada uraian mengenai saput poleng pada palinggih.
Apabila pemakaian saput poleng oleh pecalang ini dikaitkan teori interaksionisme simbolik, maka dapat dikatakan saput poleng merupakan lambing untuk melakukan komunikasi di dalam masyarakat. Sebagai lambing, saput poleng memiliki arti tertentu dalam kehidupan social. Saput poleng sebagai lambing atau symbol telah dimiliki masyrakat bali dan arti yang terkandung di dalamnya telah disepakati bersama. Hal ini bisa diperhatikan dari tanggapan masyaraakt terhadap orang yang memakai saput poleng, maudeng khusus, menyelipkan keris, menyelipkan bunga kembang sepatu merah (pucuk rejuna) di telinganya, dan mengenakan kain mekancut nyotot pertiwi. Apabila masyarakat melihat orang mengenakan busana seperti itu, paling tidak dugan pertama tertju pada orang itu adalah dia seorang petugas keamanan adapt pecalang. Lebih spesifik akan dilihat saput poleng yang dikenakannya, terselip arti seorang pecalang harus mempu melihat keadaan yang benar atau salah, yang baik atau buruk, kemudian dipilih untuk ditegakkan.
Sepanjang pengamatan yang telah dilakukan dan dari informasi yang diperoleh, ternyata hanya kaum laki-laki yang menjadi pecalang, sedangkan wanita belum pernah ada. Walaupun budaya Hindu tidak mengenal diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, menurut penulis pecalang perempuan tidak akan mudah dibentuk karena sangat terkait dengan tata pergaulan social kemasyarakatan umat Hindu di Bali yang sepertinya telah menetapkan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan terutama dalam kegiatan adat dan upacara-upacara Agama hindu.
Rangkuman dari uraian di atas adalah sebagai berikut.
(1)   Pecalang ada dua jenis yaitu ipecalang sekala (nyata) dan pecalang niskala (tidak nyata/bersifat spiritual). Fungsi atau tugas pecalang adalah sebagai tenaga penegak keamanan.
(2)   Pemakaian saput poleng sebagai symbol kepecalangan (petugas keamanan adapt) mengandung makna kekuatan, keangkeran, kemampuan sebagai penjaga, kewibawaan dalam mengembangkan tugas, juga kebijaksanaan, kenetralan (tidak memihak).
2)    Saput Poleng pada Pelinggih
Palinggih adalah bangunan suci yang dimiliki oleh umat Hindu, yang merupakan tempat pemujaan Tuhan atau manifestasi-nya. Pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada hari yang disucikan, umat hindu melakukan pemujaan di depan pelinggih  tersebut. Selain berbagai sajian yang dihaturkan juga digunakan berbagai macam atribut dan kelengkapan upacara yang selalu menyertai pelaksanaan pemujaan itu, misalnya kain dengan warna-warna tertentu misalnya ; warna putih, merah, kuning, hitamatau yang merupakan gabungan dari warna-warna tersebut, kober (sejenis bendera). pajeng (payung besar), umbul-umbul dan lain sebagainya. Setiap atribut yang digunakan mengandung arti tersendiri sesuai dengan fungsi palinggih tersebut.
Beberapa dari palinggih-palinggih itu dihias dengan saput poleng yaitu palinggih tunggun karang (bangunan suci yang berfungsi sebagai penjaga pekarangan rumah), palinggih ngerurah (salah satu bangunan suci di mrajan/hulu pekarangan rumah). Palinggih pasedahan (salah satu bangunan suci di pura), palinggih ulun pangkung (tempat suci di ujung jurang), palinggih dipersimpangan jalan, dan palinggih-palinggih lain yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai penjaga. Kalau diperhatikan penggolongan jenis-jenis pecalang di depan (menurut Lontar Purwadigma), maka pemujaan manifestasi tuhan dalam palinggih ini dapat dikategorikan sebagai pecalang niskala.
Menurut Mangku sira (11 Juni 2004) penggunaan saput poleng pada palinggih tunggun karang merupakan cirri dari kekuatan Tuhan yang dipuja di sana sebagai penjaga. Tunggun Karang adalah tempat pemujaan sedahan pekarangan (jabatan bagi pelindung pekarangan). Dengan adanya pelindung pelindung dalam rumah tangga ini diharapkan semua penghuni pekrangan rumah mendapat keamanan, sehingga mereka dapat hidup tenang. Kehidupan yang tenang sangat didambakan umat dalam menjalani hidup ini untuk mewjudkan tujuan hidupnya yaitu “moksartam jagadhita ya ca iti dharma” yakni untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan menyatunya atma atma dengan Tuhan. Saput poleng dikenakan pada palinggih ini merupakan cirri khas yang mencerminkan tugas keamanan. Warna poleng rwabhineda, yaitu putih dan hitam merupakan cirri rwabhineda yang merupakan simbolik dari aman dan kacau, baik dan buruk, artinya pemakaiannya tahu dua keadaan tersebut yang selanjutnya diharapkan keamanaan dan kebaikan itu dapat dipilah dan dipilih kemudian ditegakkan untuk memperoleh kehidupan yang harmonis.
Jika saput poleng yang digunakan adalah saput poleng sudhamala, yaitu yang berwarna putih, abu-abu, dan hitam, maka dari cerminan tiga warna itu diharapkan kekuatan Tuhan atau manifestasinya yang dipuja disana mengetahui baik dan buruk, aman dan kacau, sebagai rwabhineda. Selanjutnya berdasarkan pengetahuan rwabhineda itu diharapkan Beliau menjembatani keduanya supaya memberikan kehidupan yang dinamis bagi manusia. Warna abu-abu merupakan peralihan dari hitam dan putih, sebagai penghubungnya, yang mengandung makna mengubah kekacauan menjadi keamanan yang dinamis untuk kepentingan hidup manusia. Ditambahkan bahwa sebaiknya tidak menggunakan saput poleng tridatu pada palinggih-palinggih, karena poleng tridatu merupakan cerminan tri guna yang hanya dimiliki manusia atau mahluk lain yang tingkatannya lebih rendah.
Keterangan yang senada juga dungkapkan oleh I Wayan Selem (8 Mei 2004). Kalau di sekala (dalam kehidupan nyata) ini masyarakat mempunyai petugas pengaman yaitu pecalang, maka dalam dunia niskala (kehidupan di alam lain) mestinya juga ada petugas keamanan, tugas tersebut utamanya di dalam pekarangan rumah diserahkan kepada sedahan karang yang dipuja pada palinggih tunggun karang. Tugas yang sama juga diharapkan terlaksana pada manifestasi Tuhan yang dipuja dipalinggih ngerurah, yaitu salah satu palinggih yang ada disanggah atau merajan (tempat suci di hulu pekarangan). Palinggih ini dihiasi dengan saput poleng mengandung makna bahwa yang dipuja di sana memiliki kemampuan untuk nyelem putihang keadaan. Maksudnya dapat menjadikan keadaan yang mengarah pada warna hitam atau putih, keburukan atau kebaikan, artinya memiliki kekuatan untuk menjaga keamanan.
Dari uraian tersebut dapat diaktakan hal-hal sebagai berikut.
(1)   Pemakaian saput poleng pada palinggih-palinggih ini berfungsi sebagai penjagaan, seperti pecalang. Pecalang yang dimaksud dalam hal ini adalah pecalang niskala.
(2)   Pecalang niskala adalah kekuatan Tuhan yang dipuja dan dihadirkan atau diminta hadir dalam pelinggih.
3)    Pemakaian Saput Poleng pada Jro Dalang
Pertunjukan wayang kulit merupakan kesenian tradisional Bali yang banyak digemari masyarakat. Dalam perkembangannya, seni wayang kulit tidak semata-mata untuk hiburan tetapi juga untuk kepentinga pembinaan rohani (Karang, 1996 : 1). Wayang kulit adalh sebuah seni ukiran yang terbuat dari kulit dengan bentuk berbagai tokoh wiracarita. Kisah yang dipentaskan sebagaian besar diambil dari cuplikan wiracarita Ramayana dan Mahabrata dalam pementasannya wayang kulit ini dimainkan oleh seorang dalang yang di Bali dikenal dengan sebutan Jro Dalang.
Wayang kulit dipentaskan kadang-kadang sebagai hiburan semata, tetapi lebih banyak dipentaskan terkait dengan sebuah upacara, misalnya dipentaskan ketika melaksanakan upacara odalan (peringatan kelahiran pura), dipentaskan sehubungan dengan upacara otonan (peringatan hari lahir berdasarkan wuku), atau upacara-upacara lainnya. Menurut Karang (1996 : 2) upacara otonan pada anak yang lahir pada wuku wayang (wuku wayang adalah salah satu nama mingguan menurut kalender Bali) semestinya dilengkapi dengan pementasan wayang sapuh leger. Hal ini dimaksudkan untuk membebaskan anak yang lahir dalam wuku wayang, dari mala petaka akibat gangguan-gangguan yang membahayakannya. Pementasan wayang sapu leger tidak saja dilakukan di Bali, tetapi juga dilaksanakan di Jawa yang disebut Ngeruwat atau Ngelukat (penyucian).
Menurut Jro Dalang Ida Bagus Rai Keramas (dalam Karang, 1996 ; 42) disebutkan ada tiga jenis pementasan wayang kulit yaitu ; wayang kulit biasa, wayang kulit sudhamala dan wayang kulit sapuh leger. Wayang kulit biasa adalah pertunjukan sebagai hiburan atau pelengkap upacara, wayang kulit sudhamala adalah pementasan wayang kulit yang khusus dilaksanakan untuk memohon penglukatan atau penyucian dalam kaitannya dengan upacara Pitra Yajna, Dewa Yajna (jenis-jenis upacara di Bali) sedangkan wayang kulit sapuh leger dimaksudkan untuk ngeruwat atau ngelukat (menyucikan) anak yang lahir dalam wuku wayang agar terhindar dari mara bahaya atau bencana.
Menurut Karang (1996 : 51) dalam Lontar kala Purana disebutkan cerita Sapuh leger yang ringkasannya sebagai berikut. Pada suatu hari Dewa Siwa bersama istrinya Dewi Uma bercengkrama di tepi laut. Dalam kebahagiaannya itu timbullah hasrat Dewa Siwa untuk bersetubuh dengan Dewi Uma, tetapi ditolak.. karena terusdirayu akhirnya mau juga, hal itu dilakukan ditepi laut. Pada saat itu Dewa Siwa bergelar Sanghyang Randu Maya.
Pertemuan tersebut menghasilkan putra yang diberi nama Bhatara kala yang berwujud raksasa. Waktu kecil Bhatara kala diasuh oleh Dewa Baruna bersama Naga Ananta Boga. Ketika sudah dewasa Bhatara Kala ukuran badannya besar sekali dengan dengan wajah yang menakutkan. Suatu ketika Bhatara Kala menanyakan ayah dan ibu-nya kepada Dewa Baruna. Atas pertanyaan itu diceritakanlah ayah dan ibu Bhatara Kala yang sebenarnya adalah Dewa Siwa dan Dewi Uma yang berada di sorga.
Mendengar keteranga itu Bhatara Kala memutuskan untuk berangkat ke sorga menemui ayah dan ibu-nya. Setelah tiba di sorga Bhatara kala dihafang oleh para pencaga pintu sorga seperti Sang jogor Manik dan Sang Cikra Bala. Karena hadangan itulah maka timbullah pertempuran antara Bhatara Kala dengan penghuni sorga, yang dimenangkan oleh Bhatara Kala. Atas kejadian itu Dewa Siwa menemui Bhatara Kala, selanjutnya mengakui sebagai anaknya. Setelah beberapa lama tinggal di sorga, Bhatara kala sering menimbulkan keributan, ysng membuat kehidupan para Dewa tidak tenang.
Atas inisiatif Dewa Siwa, Bhatara Kala disuruh turun ke dunia. Perintah itu tidak ditolak asalkan Dewa Siwa memberikan suatu kekuasaan atau kewenang kepada Bhatara Kala. Saat itu pula anugrah diberikan kepada Bhatara Kala yang isinya Bhatara Kala boleh memakan : anak yang lahir dalam Wuku Wayang, anak yang berjalan pada tengai tepet (tengah hari), atau orang yang berjalan pada waktu sandya kala (waktu peralihan sore dan malam). Atas anugrah itu Bhatara Kala mohon pamit selanjutnya turun ke dunia.
Setelah Bhatara Kala sadarlah Dewa Siwa atas ucapannya tadi. Beliau baru ingat bahwa putranya yang paling kecil yaitu Sanghyang Kumara lahir pada Wuku Wayang, bisa jadi menjadi santapan Bhatara Kala. Pencegahan terhadap kemungkinan itu dilakakukan dengan memerintahkan Sanghyang Kumara menjelma pada kelahiran putra Prabu Medang Kemulan yaitu Rare Subrate, yang akan lahir ada Saniscara Wuku wayang. Diperintahkan juga Dewa Wisnu menjelma menjadi Jro Dalang Samirana untuk menyelamatkan penjelmaan Sanghyang Kumara ini.
Ketika kelahiran Rare Subrata tiba, yaitu tepat pada Saniscara Wuku Wayang, maka Bhatara Kala dengan cepat mencari adiknyatersebut untuk dimakan. Mengetahui dirinya dikejar untuk dimangsa, penjelmaan Sanghyang Kumara ini lari tungang langgang untuk menyelamatkan diri, kemudian bersembunyi di timbunan sampah. Bhatara Kala mencoba menangkapnya tetapi Sanghyang Kumara berhasil melarikan diri. Bhatara Kala murka, lalu mengutuk setiap orang yang membuang sampah sembarangan agar terserang penyakit.
Pengejaran kembali dilanjutkan, Sanghyang Kumara bersembunyi disana sini untuk menyelamatkan diri. Mengetahui keadaan itu , Dewa Siwa merasa perihatin terhadap Sanghyang Kumara, kemudian beliau turun bersama Dewi Uma. Saat itu matahari sedang berada di atas langit, terlihat oleh Bhatra Kala ayah dan ibunya sedang berjalan. Ingat akan kekuasaan yang diberikan, timbullah keinginan untuk memakan ayah dan ibunya. Tetapi berkat kecerdikan Dewa Siwa untuk mengulur waktu sampai lewat tengah hari, Bhatara Kala urung memangsa ayah dan ibunya.
Pengejaran kembali dilakukan terhadap adiknya, pada suatu kesempatan Sanghyang Kumara menjumpai seorang dalang wayang kulit yang sedang pentas, di sanalah Sanghyang Kumara meminta perlindungan. Jro Dalang untuk bersembunyi dalam bumbung gender wayang (selinder gemelan). Ketika Bhatara Kala tiba di tempat pertunjukkan itu, dilihatnya banten (sajian) dengan berbagai lauknya yang banyak, tanpa berpikir panjang Bhatara Kala menyantap sajian itu dengan lahap. Setelah kenyang ditanyakanlah keberadaan adiknya kepada Jro Dalang. Dijelaskan keiginan Bhatara Kala untuk memakan adiknya atas anugrah Dewa Siwa, namun Jro Dalang yang tidak lain adalah penjelmaan Dewa Wisnu mengatakan bahwa jika hendak tetap memakan Sanghyang Kumara maka kembalikanlah dahulu sajian wayang yang telah dimakan Bhatara Kala dalam keadaan utuh seperti semula. Namun Bhatara Kala tidak dapat memenuhi permintaan Jro Dalang itu. Merasa telah bersalah telah menyantap sajian wayang tersebut, maka Bhatara Kala berjanji tidak akan memakan Sanghyang Kumara. Akhirnya Sanghyang Kumara selamat dari bencana berkat bantuan Jro Dalang.
Dalam tulisan yang berbeda dengan topic yang sama, Tapa ( dalam majalah Yudistira edisi perdana, 2001 : 53 – 57) menguraikan dalam episode ini Bhatra Kala yang telah memakan banten dan caru (sajian) yang ada di depan pementasan wayang kulit. Anugerah tersebut adalah wastu kaki dalang nemu rahayu, memanah suci nirmala, yogi nglukat wongmercepada apang nemu kedirga yusan, muah nglukat wong mati apang keturunan nyane nemu rahayu (agar Jro Dalang mampu memberikan penyucian kepada masyarakat yang meminta bantuannya untuk keselamatan dan penyucian orang mati agar keturunannya selamat).
Demikian diceritakan sehingga sampai saat ini masih ada keyakinan masyarakat bahwa Jro Dalang dapat diminta bantuannya untuk mementaskan wayang kulit dengan lakon Sapuh Leger. Pementasan wayang kulit Sapuh Leger ini dilakukan ketika upacara otonan seorang anak yang lahir pada wuku wayang. Tunuannya adalah untuk menyelamatkan anak itu dari berbagai gangguan niskala. Dalam pementasan inilah Jro Dalang menggunakan saput poleng  untuk menunaikan tugasnya.
Makna yang tergandung dalam pemakaian saput poleng oleh Jro Dalang ini adalah bahwa peranan jro Dalang dalam hal ini mirip seperti dokter jiwa yakni memberikan yakni memberikan keyakinan secara psikologis kepada masyarakat yakni dengan sarana wayang sapuh leger dapat memberikan ketenangan karena mara bahaya dapat terhindar dari anak yang telah diupacarai (wawancara dengan I Nengah Suena Karang, 9 juni 2004 ; I Wayan Selem, 18 Juni 2004). Kalau pendapat ini dikaitkan dengan teori structural fungsional maka dapat diaktakan keberadaan institusi Jro Dalang yang merupakan subsistem dari Desa Pekraman sangat menentukan stabilitas Desa Pekraman sebagai sistemnya.
Peranan Jro Dalang ini dapat disejajarkan dengan lembaga kesehatan jiwa seperti psikiater dan psikolog. Apabila institusi jro Dalang sebagai subsistem yang menentukan stabilitas sistemnya yang lebih besar.
Jika diperhatikan cerita Sapuh Leger di depan, yaitu kemarahan Bhatara Kala kepada orang yang membuang samapah sembarangan sehingga mengutuk mereka agar kena bencana, makadapat dikatakan mitos ini merupaka sarana pendidikan masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungannya. Lingkungan yang bersaih secara langsung akan meningkatkan kesehatan masyarakat sekitarnya. Demikian juga tentang kewenangan Bhatara Kala untuk memakan siapa saja yang berjalan pada waktu tengai tepet dan sandya kala, hal ini merupakan peringatan bagi umat hindu bahwa wktu-waktu tersebut merupakan waktu yang rawan, masing-masing adalah waktu peralihan antara pagidan sore, dan waktu peralihan sore dan malam hari. Dengan demikian dapat dikatakan makna yang terkandung dalam cerita ini sarat dengan nilai-nilai pendidikan.
Berikut ini adalah rangkuman dari uraian diatas.
(1)   Pemakaian saput poleng oleh Jro Dalang mengandung arti bahwa Jro Dalang melakukan tugasnya untuk melakukan penyucian pembebasan (pengrwatan) dari gangguan roh jahat bagi anak kecil yang lahir pada Wuku Wayang.
(2)   Dengan demikian saput poleng yang pantas dipakai oleh Jro Dalang adalah saput poleng sudhamala, sebab kata sudhamala sendiri berarti suci dari kekotoran (mala).
4)    Saput Poleng pada Arca
Seni arca di Bali sudah menjadi kekaguman para turis, hal ini terlihat dari respon masyrakat yang memajang berbagai bentuk arca atau patung di sepanjang jalan raya ang seringdilalui turis. Tujuan pemajang itu tiada lain untuk menarik minat pembeli. Pulau Bali yang dikenal dengan nama “Pulau Seribu Pura”, memiliki banyak pura dan hamper semua pura memiliki arca didalamnya. Bagi umat Hinduarca merupakan salah satu sarana yang dipaki untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan atau manifestasinya. Hal ini dilakukan oleh kebanyakan bhakta (penyembah) yang tingkat kerohaniannya masih rendah. Berbeda dengan para ghakta yang telah tinggi tingakat kerohaniannya, mereka tidak lagi memerlukan sarana untuk memusatkan pikiran pada pujaannya yaitu Sang Hyang Widhi (Tuhan).
Pembuat arca yang memenuhi syarat selalu mengikuti petunjuk sesuai dengan ilmu yang disebut Ikonologi. Ikonologi sangat terkait dengan ikonografi. Ikonografi berarti rincian suatu benda yang menggambarkan tokoh Dewa atau seorang keramat dalambentuk suatu lukisan, relief, mosaic, arca atau benda lainnya (Sahai, 1975 : 1-2). Berbagai bentuk tokoh yang diwujudkan sesuai dengan persyaratan ikonografi tersebut, memiliki cirri-ciri khusus yang dibelakangnya mengandung makna yangsangat dalam. Menurut Erwin Panofsky (Maulana, 1997 : 1) dalam kesenian dikenal adanya tiga tingkatan makna. Pertama, bertalian dengankeadaan alam, pengetahuan tentang berbeda-beda, bangunan, keindahanalam, dan sebagainya. Setiap seniman akan melihat suatu benda dalam hubungannya dengan benda lainnya suatu benda kesenian dapat diketahui arti yangsesungguhnya. Kedua, meliputi motif-motif karya seni serta arca-arca. Tingkat ini merupakan bidang ikonografi, dalam artisempit untuk mengetahui makna yang melatarbelakangi pembuatan arca. Tingkat ketiga adalah prinsip-prinsip nilai simbolis.
Pengertian ikon (berasal dari bahasa Yunani, eikoon yang berarti bayangan, potret, atau gambaran) dalam ikonografi hindu ditafsirkan pada tokoh yang digambarkan dan kemiripan tokoh yang dinyatakan dalam gambar dengan tujuan untuk megadakan hubungan dengan tokoh atau dewa tersebut (Banerjea seperti dikutip Maulana, 1997 : 1). Ikonografi Hindu mempunyai peranan yang sangat penting dalam peribadatan karena itu dimasukkan dalam keagamaan yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan ikonografi sampai ikonometrinya terdapat dalam beberapa kitab Agama,dengan ketentuan yang bertingkat-tingkat dan ada pula ketentuan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Ketentuan-ketentuan yang tidk dapat di ubah erat kaitannya dengan identitas dewa yang bersangkutan dan dalam hal ini disebut cirri-ciri pokok, sedangkan penyimpangan terhadap hal ini disebut variasi cirri. Penyimpangan atau variasi cirri mungkin terjadi sebagai akibat perbedaan waktu, wilayahatau aliran-alira keagamaan yang mlatar belakangi (Maulana, 1997 : 3). Berdasarkan penjelasan ini dapat diterima apabila dijumpai beberapaarca yang berfungsi sama namun digambarkan dengan beberapa perbedaan. Hal inisangat mungkin dipengaruhi oleh seni yang dimiliki pemahatnya dan variasi cirri yang dimaksud tersebut.
Berdasarkan pengamatan dilapangan ternyata dijumpai beberapa jenis arca yang dihias dengan saput poleng. Araca-arca tersebut antaranya : arca dipersimpangan jalan, arca-arca penjaga pintu gerbang pura (dwarapala), arca-arca diujung jembatan arca yang dipasang diulun pangkung (dihulu jurang) dan arca-arca ditempat lainnya. Berdasarka tabiatnya arca-arca dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu arca raudra dan arca santa (tenang, damai). Arca-arca tadi dapat digolongkan kedalam arca yang bersifat raudra atau augra artinya menakutkan atau dahsyat. Arca-arca yang bersifat raudra dipuja oleh pemujanya apabila mencapai tujuannya dilakukan dengan jalan kekerasan. Gambaran arca dalam benrtuk ini misalnya : bertaring panjang, berkaki panjang, mata melotot/terbelalak, bertangan banyak masing-masing memegang senjata, mempunyaiagni mandala (bingkai api),dalam beberapa hal dihiasi tengkorak-tengkorak dan tulang (Maulana, 1997:55-560. Secara umum dapat dikatakan memiliki cirri-ciri yang menyerupai raksasa.
Hooykaas (1980:8) menemukan dipersimpangan jalan di Bali ada arca-arca Dewi Durga yang menakutkan. Arca ini pasti memiliki fungsi penolak bala di tempat-tempat berbahaya ini. Pintu masuk ke pura dilindungi dan di hiasi dengan figure-figur penjaga dimaksudkan sebagai cara terbaik ubtuk pertahanan terhadap monster jahat. Dipastikan semua patung ini mempunyai tujuan magis. Ditekankan bahwa adalah keliru mengira patung-patung di pura-pura dipasang sebagai asesoris/tmbahan kepercayaan (cult) atau subjek pemujaan.
Arca Narasinga Murti yang terdapat di catuspata/pempatan agung (persimpangan jalan) di depan kantor Buati Bangli dalam kesehariannya dihias dengan saput poleng. Arca ini melukiskan ciri arca raudra, yaitu kedahsyatan Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia-singa  untuk menyerang Hiranyakasipu salahsatu pengikut Dewa Siwa (Maulana, 1997:56)
Dalam kitab Kurma Purana (debroy, Bibek dan Dipavali Debroy, 2002 :51-53) diceritakan keberhasilan Narasinga mengalahkan raksasa Hiranyakasipu. Berikut adalah ringkasannya. Hiranyakasipu berhasil menyenangkan Dewa Brahma melalui tapanya. Atas keberhasilan itu Dewa Brahma menganugrahkan kesaktian kepada Hiranyakasipu. Hiranyakasipu yang bersifat angkara murka ini mengacaukan ketenangan dunia dan berusaha menguasai sorga. Para Rsi meminta bantuan ke pada Dewa Brahma untuk memusnahkan keangkaramurkaan hiranyakasipu, namun anugerah yang telah diberikan kepada hiranyakasipu tidak dapat ditarik Dewa Brahma. Untuk itu disarankan meminta bantuan kepada Dewa Wisnu agar Dewa Wisnu menciptakan mahluk sebesar gunung Semeru yang memegang bunga padma (lotus), sangka (terompet) dan sebuah gada 9pemukul) ditangannya. Mahluk ini mengendarai garuda meuju tempat Hiranyakasipu. Dalam pertempuran dengan Hiranyakasipu, mahluk ciptaan Dewa Wisnu ini kalah. Akhirnya Dewa Wisnu ini sendiri maju ke medan laga dengan cara menjelma menjadi manusia berkepala singa. Dalam penjelmaannya itu Dewa Wisnu disebut Narasimha atau Narasinga. Nara artinya orang/manusia, simha artinya singa. Pertempuran berhasil dimenangkan oleh Narasinga dengan kematian Hiranyakasipu yang terbelah dadanya oleh cakar Narasinga.
Sehubungan dengan fungsi arca di pempatan agung, suwena (dalam Atmaja editor, 2003 ; 46-47) mengatakan bahwa orang Bali mengenal konsep rwabhineda sebagai unsure dualistic yang terwujud dalam oposisi pasangan yang bersifat universal yaitu utama (yang mengandung nilai tinggi) yang dipertentangkan dengan nista (yang mengandung nilai renah). Dalam pola piker orang Bali, adanya kecenderungan tidak memihak atau memilih hal-hal yang memiliki nilai utama/tinggi maupun bernilai nista/rendah adalah merupakan bagian dari keseluruhannya. Oleh karena itu tidak ada yang bernilai utama jika tidak ada nista.
Dalam hubungan ini kehidupan orang Bali dituntut untuk mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang berlawanan itu sehingga tidak ada salahsatu mencapai nilai lebih tinggi atau sebaliknya lebih rendah. Jadi klasifikasitiga itu merupakan tri-tunggal, yang berarti walau sesuatu dibagi menjadi tiga sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Disimpulkan bahwa klasifikasi tiga yang mengandung nilai utama, madya, dan nista (tinggi, sedang dan rendah) ini mendasari pola piker, perasaan, perilaku atau tindakan orang Bali yang tercermin dalam orientasi arah di Bali.
Dalam kaitan orientasi arah ini I Wayan manggih 910 Juni 2004) mengatakan bahwa di daerahnya yaitu Kecamatan Gianyar khususnya dan di Bali umumnya dikenal adanya dua jenis arah yaitu : kaja dan kelos, kangin dan kauh, ulu dan teben, gunung dan segara, yang semuanya itu menunjukkan dua jenis arah mengandung arti arah yang suci danarah yang leteh, yang utama dan yang nista. Dua arah yang suci dan arah yang leteh, yang utama dan yang nista. Dua arah yang bertentangan ini merupakan rwabhineda sebagai kesatuan yang tidak disebut madya (tengah). Dengan dekmikian arah madya merupakan perantara bagi dua arah yang berlwanan. Apabila dua pasang rwabhineda arah ini dipertemukan, misalnya arah kangin-kauh (timurdan barat) dipersilangkan dengan arah kaja-kelod (arah utara dan selatan) maka terbentuklah persilangan dua dalamsatu titik yang disebut pempatan atau pempatan agung. Pempatan agung atau catuspata merupakan areal keramat tempat beberapa upacara dilaksanakan, misalnya upacara ngulapin yaitusejenis upacara memohon keselamatan kepada Tuhan. Keselamatan itu dimaksudkan terkait dengan perjalanan manusia di jalan raya.
Catuspata atau pempatan agung di Bali memiliki banyak fungsi antara lain : sebagai jalur lalu lintas manusia dan kendaraan, kegiatanritual hinduseperti : pecaruan, tawur kesanga, tawur agung (upacara untuk keseimbangan alam), pamarisudha bumi (upacara pembersihan bumi), enghidupkan aji pangiwe (ilmu hitam), mlaspas wadah (penyucian tempat pembakaran mayat) dan lain-lainnya. Setiap kota kabupaten di Bali memiliki pempatan agung yang merupakan pusatkota. Masing-masing pempatan agung ini memiliki nilai historis sendiri. Memperhatikan tempat ini akan dapat dilihat sejarah kota masing-masing, melihat ruang public tradisional seperti pasar, lapangan, puri atau keratin dan unsur-unsur pendukung lain dalam kaitannya untuk membangkitkan kekuatan magis alam raya (Jiwa Atmaja,dalam Atmaja editor, 2003 ; 22-23).
Mugi Raharja menyoroti pelaksanaan ritual caru dipempatan agung ini mengatakan bahwa pecaruan yang dilaksanakan umat Hindu merupakan kurban yang ditunjukkan kepada mahluk alam bawah (bhuta yadnya), agar tidak merusak atau mengganggu tatanan kehidupan dialam kosmos. Pelaksanaan upacara ini dilakukan sesuai dengan konsep tri hita karana, untuk menjaga keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan atara manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungan dan mahluk alam bawah yangada. Pempatan agung sebagai pusat pemukiman penduduk, mempunyai makna yang tinggi. Wilayah ini adalah persilangan orientasi religi sumbu bumidan sumbu matahari yang setara dengan titik pusat koordinat yang dimiliki nilai “nol”. Konsep ruang dalam keyakinan hindu, nilai “nol” tidak berarti kosong, tetapi seperti buah kelapa kosong yangada isinya (nyuh puyung sugih), atau seperti manik ring cecupu (isi danwadah), terlihat kosong tetapi ada isinya. Konsep ruang ini sama dengan ketuhanan, “ada dan tiada”, ada tetapi tidak terlihat. Dengan demikian dalam konteks ini “titik nol” dalam konsep ruang itu berarti kosong, tetapi bermakna “maha sempurna” (Bali Post, 6 April 2003 : halaman 7 kolom 1-9).
Menurut Mangku Sira (11 juni 2004) pemakaian saput poleng pada arca di catuspata/pempatan (persimpangan jalan) merupakan symbol pertemuan antara akasa dan pretiwi yaitu pertemuan antara langit dan bumi, yang keduanya adalah refleksi dari rwebhineda. Langit atau akasa merupakan symbol tempatnya Dewata atau dunianya Tuhan yang disucikan, sedangkan pertiwiatau bumi adalah dunianya manusia. Melalui arca di catuspata inilahsering diakukan pemujaan kepada Tuhan sebagai sarana yang menghubungkan antara bumi dan langit. Bumi sebagai tempat manusia merupakan wilayah yang profane, wilayah biasa, sedangkan catuspata sebagai pusatnya pemukiman atau pusatnya wilayahdesa adat merupakan jalan terdekat untuk berhubungan dengan langit yaitu wilayah yang suci (sakral). Jadi bumi dihubungkan dengan langit dengan catuspata melalui arcanya yang menjulang tinggi. Bumi atau pertiwi yang diyakini sebagai wilayah profane dan langit atau akasa sebagai wilayah sacral dihubungkan dengan catuspata sebagai madyaning bhuana (pusatnya dunia).
Pertemuan akasa-pertiwi, sacral-profan, atau suci-leteh (brsih-kotor), sebagai konsep rwabhineda, diungkapkan dengan symbol saput poleng yang dililitkan pada arca ditengah perempatan agung ini menurut jro Mangku yang Mantan Lurah Kawan ini, apabila yang dililitkan adalah saput poleng rwabhineda, itu menyimbolkan akasa-pertiwi, sedangkan apabila yang dililitkan saput poleng sudhamala hal itu berarti adanya rwabhineda yang dihubungkan dengan penengah/perantara. Dengan demikian adanya rwabhineda janganlah dianggap pertentangan yang ekstrim, namun perlu diartikan sebagai perbedaan yang akan membuat segala sesuatunya menjadi dinamis. Demikian penjelasan yang diperoleh dari Jro Mangku yang juga kelian adat (ketua) banjar pule ini.
Selain arca-arca di persimpangan jalan, arca-arca yangsering dililit dengan saput poleng adalah arca-arca yangditempatkan didepan pintu gerbang sebuah pura. Pintu masuk tempat suci (pura) di Bali biasanya dilengkapi dua buah arca atau lebih, di sisi kanan dan kiri candi bentar atau candi kurung/gelung agung (pintu gerbang) pura itu. Dua arca yang ada di sisi kanan dan kiri pintu gerbang ini disebut pengapit lawang atau dwarapala. Kalau di Jawa penjaga pintu inidisebut reco pentung (arca yang membawa pentungan) (Titib, 2001 : 265).
Arca dwarapala umumnya berbentuk raksasa dengan senjata gada pada salah satu tangannya. Gada adalahsalah satu alat pemukul yang mirip prmukul kasti untuk alat pukul jarak pendek.sikap badannya digambarkan berdiri siap memukul (Maulana, 1997 : 38). Menurut titib (2001 : 365) selain gada, kadang-kadang dwarapala dilengkapi senjata danda 9tongkat) pada salah satu tangan arca ini. Gada atau danda melambangkan tanggung jawab untuk mengendalikan dan menghukum mereka yang jahat (yang memasuki kawasan suci) dan tongkat menunjukkan kekeuasaan dari dewata utama pada pura tersebut. Ditambahkan bahwa fungsi dari arca dwarapala adalah untuk melindungi tempat suci.
Pada tempat suci bagi pengikut Waisnawa terdapat tiga pasang dwarapala yaitu : Candha dan Prachanda, pada kiri kanan pintu gerbang halaman paling tengah (jeroan), Jaya dan Wijaya pada kiri dan kanan pintu gerbang halaman tengah (jaba tengah), dan arca Purna dan Puskara pada sisi kiri dan kanan pintu gerbang halaman pura paling luar (jaba sisi). Chanda dan Prachanda wujudnya membangkitkan rasa hormat (bhayanakau), fantastis (wirupaksau), masing-masing memiliki dua tangan, menggunakan mahkota dan hiasan.
Jaya dan Wijaya masing-masing digambarkan memiliki empat tangan, tangan atas keduanya memegang sangka dan cakra, sebagai ciri waisnawa. Tangan depan bawah masing-masing membawa gada(pentungan) dalam sikap berdiri memberi peringatan (tarjanihasta). Mereka memiliki taring, sikapnya tegang, namun membangkitkan rasa hormat. Jaya kulitnya berwarna kemerahan, sedangkan wijaya kekuning-kuningan. Dalam teks Naradiya Samhita 13.329 (dalam Titib, 2001  : 336) disebutkan bahwa dwarapala tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk arca atau dimohon kehadirannya (dibayangkan hadir) pada waktu upacara (dhyayadva karayed vapi).
Sehubungan dengan saput poleng yang dililitkan pada arca dwarapala ini I Wayan Selem (18 Juni 2004) mengatakan bahwa arca ini merupakan penjaga tempat suci dari gangguan luar yang berkeinginan mencemari atau merusak kesucian kawasan ini. Saput poleng yang dikenakan arca dwarapala ini memiliki makna yang sama dengan saput poleng yang diakai para pecalang, yaitu para penjaga atau kekuatan penjaga yang diharapkan umat Hindu telah mencerminkan kemampuan dwarapala untuk “nyelem-putihang” keadaan (maksudnya membuat keadaan menjadi jelas, hitam atau putih, kacau atau aman, buruk atau baik). Sesuai fungsinya sebagai penjaga diharapkan dwarapala mampu menjaga kesucian dan keamanan pura. Saput poleng yang digunakan arca inidapat dijadikan sarana pendidikan bagi umat hindu khususnya dan masyarakat pada umumnya. Maksudnya adalah bagi orang yang melihat dwarapala yang dilengkapi busana saput poleng, seharusnya sudah dapat membayangkan ada penjaga didepan pintu itu. Dengan kata lain mereka seharusnya sudah berpikir bahwa ada sesuatau yang harus diamankan, yakni sebagai tempat yang patut disucikan. Dengan demikian symbol ini dapat dijadikan sarana pendidikan etika bagi masyarakat, kata guru yang juga berprofesi sebagai dalang wayang kulit ini.
Mangku Sira (11 Juni 204) mengatakan bahwa arca penjaga yang mengenakan saput poleng di depan pura, merupakan simbol rwabhineda antara dijeroan dan di jaba (wilayah di dalam para dan wilayah di luar pura). Artinya ada perbedaan nilai kesucian di antara kedua tempattersebut. Jeroan adalah wilayah yang sudah di batasi tembok panyengker (tembok keliling) yang pembangunannya telah mengalami penyucian melalui upacara pamelaspas dan upacara-upacara lainnya untuk menghadirkan para dewa. Jadi areal ini dapat dikatakan sebagai tempat persemayaman Tuhan, sebagai kawasan  suci, yang pingit, yaitu tempat yang sacral sedangkan di luar jeroan ini, di luar tembok panyengker adalah kawasan yang dihuni  manusia, merupakan wilayah kegiatan manusia sehari-hari, wilayah yang biasan, yakni jaba sisi, sebagai wilayah profan. Jeroan dan jaba sisi adalah dua wilayah yang mempunyai karakteristikyang bertentangan, yang suci dan yang leteh, yang sacral dan yang profane, namun diantara keduanya diselingi dengan areal penghubung yang disebut jaba tengah, berfungsi sebagai perantara bagi yang sacral dengan yang profan. Dengan demikian menurut Kelian Banjar Pule yang juga Jro Mangku Batugaing ini, saput poleng yang pantas di kenakan pada arca dwarapala adalah saput poleng sudhamala, yaitu saput poleng yang berwarna tiga yaitu : putih, abu-abu, dan hitam. Tiga warna ini dapat melambangkan tiga mandala (kawasan) yaitu ; jeroan, jaba tengah, dan jaba sisi. Saput poleng sudhamala ini tanpa hiasan tepi, maknanya adalah kekuatan para penjaga ini tanpa batas. Ditambahkan bahwa arca dwarapala berbentuk raksasa mengandung pengertian penjaga, sebab kata “raksasa” identik dengan kata “raksa” yang artinya menjaga atau menerima, di samping mempunyai pengertian lainnya.
Dari keterangan di depan dapat dikatakan bahwa pemakaian saput poleng pada arca-arca ini menyiratkan fungsi penjagaan, yaitu untuk menjaga dua hal yang bertentangan, yaitu menjaga kesucian dari kekotoran, menjaga kebaikan dari keburukan, termasuk menjaga kesakralan dari keprofanan. Yang suci (bersih) dipisahkan dengan yang leteh (kotor) melalui tembok panyengker (tembok pembatas keliling), atau areal yang suci dengan areal yang leteh ini dipisahkan dan dihubungkan dengan areal perantara, yakni areal jeroan sebagai yang suci, areal jaba sisi sebagai yang leteh, dihubungkan dengan areal jaba tengah sebagai mediatornya. Keamanan sebagai salah satu komponen untuk mendapatkan kesucian, karenanyalah keamanan ini perlu ditegakkan oleh para penjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar