PERANAN SAPUT POLENG
DALAM KEHIDUPAN UMAT
Telah disebutkan bahwa kedudukan saput poleng penting dalam kegiatan umat Hindu. Berdasarkan
kedudukan itu, maka timbullah peranan bagi yang memakainya. Peranan Isaput poleng akan diungkap melalui
pengkajian terhadap pemakaian saput
poleng oleh : pecalang, Jro Dalang,
Balian Desa (pengobat tradisional), dikenakan pada pelinggih (bangunan
suci), pada arca atau patung-patung tertentu, dililitkan pada pohon tertentu,
dililitkan pada kulkul (kentongan), dikenakan pada tokoh-tokoh itihasa (tokoh-tokoh dalam wiracarita Hindu) dan pada
pemakaian lainnya. Berikut ini diuraikan secara deskriptif pemakaian saput
poleng dalam beberapa kegiatan saja sebagai sample, selanjutnya dari data yang
ada dibuat analisis untuk mengambil suatu simpulan.
1) Pemakaian Saput Poleng pada Pecalang
Sesuai dengan teori
structural fungsional dapat dikatakan bahwa masyarakat Bali
merupakan suatu system masyarakat yang kompleks, yang didalamnya terdapat
bagian-bagian sebagai subsistemnya. Keadaan subsistemnya itu sangat terkait
satu sama lainnya, artinya apabila salah satu subsistemnya terguncang maka akan
berpengaruh pada subsistem lainnya. Dengan demikian keadaan masyarakat sebagai
sistemnya yang lebih besar juga kena pengaruh tersebut. Satuan terkecil system
masyarakat Bali adalah Desa Pekraman atau Desa Adat.
Sebagai sebuah system kemasyarakatan. Desa
Pekraman terdiri dari berbagai
subsistem misalnya : karma/warga banjar,
awig-awig (hukum adat), prajuru/pengurus,
paruman/musyawarah, pecalang/petugas keamanan desa adapt, kesinoman/petugas khusus, organisasi pengairan
(subak), organisasi ekonomi pasar sekaha-sekaha atau kelompok khusus pekerjaan
tertentu, dan institusi lainnya.
Menurut Peraturan Daerah Propinsi
Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman,
disebutkan bahwa Desa Pekraman adalah
kesatuan masyarakat hokum adapt di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau
kahyangan desa
yang mempunyai wilayah tertenru dan harta kekayaan serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan Desa Pekraman merupakan
kesatuan wilayah dengan suatu tradisi dan tata krama pergaulan hidup
berdasarkan Agama Hindu, sehingga merupakan satu kesatuan tertutup khusus untuk
masyarakat Bali yang beragama Hindu. Desa Pekraman adalah suatu kesatuan
wilayah (palemahan) yang diikat oleh kahyangan tiga (pura yang berjumlah
tiga/parahyangan) dan didukung oleh masyarakat beragama Hindu (pawongan). Tujuan
hidup umat Hindu adalah untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia ini (jagadhita)
serta menyatunya atma dengan Brahman (Tuhan) yaitu tercapainya moksa.
Dalam kaitan inilah mat hindu di Desa Pekraman perlu melaksanakan ajaran agama
untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan parahyangan, pawongan dan
palemahan.
Persepi setiap orang dalam mencapai tujuan hidupnya
tak dapat disama-ratakan, karena memang demikian ciri manusia yang dipengaruhi
unsure-unsur tri guna dengan kadar
yang berbeda-beda. Ditambah lagi adanya berbagai kepentingan yang berbeda dalam
mendapatkan sumber daya yang sama, maka peluang terjadinya konflik di
masyarakat sangat besar terjadi, karena itu tejadi kekacauan. Upaya kearah itu
telah dilakukan umat Hindu di Desa Pekraman yaitu dengan dibentuk pecalang. Institute pecalang berperan besar dalam menentukan jalannya Desa Pekraman, disamping peranan
institusi-institusi lainnya.
Dalam konteks penelitian ini akan dikaji keberadaan pacalang. Pecalang adalan satuan tugas
(satgas) keamanan tradisional masyarakat Bali
yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, baik di
tingkat banjar pekraman dan atau
wilayah Desa Pekraman (Perda Propinsi
Bali Nomor 3 Tahun 2001 pasal 1 ayat 17). Organisasi pecalang ini merupakan salah
satu institusi dalam masyaraakt yang mempunyai tugas seperti lembaga keplisian
dalam struktur kenegaraan. Menurut Widnyani dan I Ketut Widia (2002 : 35) kata pecalang berasal dari kata calang (Bahasa Bali) yang berarti tajam
indranya. Pecalang artinya orang yang
tajam indranya, tajam penglihatannya, tajam pendengarannya, melebihi orang
lainnya. Dengan modal dasar seperti itu diharapkan para pecalang dapat mengemban tugasnya dengan baik.
Dewa Anom Sudira (8 Mei 2004) mengatakan proses
pemilihan anggota/petugas pecalang adalah
melalui paruman desa/banjar pekraman (hasil musyawarah), cakap lahir batin, dan
disucikan dengan upacara mejaya-jaya (upcara
untuk memohon kemenangan), selanjutnya diberi tugas sebagai pengaman
dilingkungan Desa Pekraman. Warga
yang berhak menjadi pecalang adalah
warga Desa Pekraman tersebut, dengan kata lain tidak boleh warga dari luar Desa
Pekraman menjadi pecalang. Cakap
mengandung pengertian sudah dewasa, baik dari segi umur maupun mental.
Kecakapan ini diperlukan sehubungan dengan tugas yang akan diemban memerlukan
tanggung jawab yang berat, karena menyangkut keselamatan masyarakat luas.
Kewajiban melaksanakan majaya-jaya menjadi
peting untuk memberikan kekuatan spiritual kepada yang bersangkutan.
Menurut Widnyani dan I Ketutu Widia (2002 : 360 dalam Lontar
Purwadigama disebutkan ada dua jenis pecalang yaitu : pecalang
sekala dan pecalang niskala. Pecalang
sekala adalah pecalang yang kelihatan secara kasat mata sedangkan pecalang niskala adalah pecalang yang
diyakini ada secara kasat mata (catatan penulis ; masih perlu diteliti sloka
tersebut karena tidak ditulis Widnyani dan Widia).
Pecalang sekala dapat
dikelompokkan menjadi lima
macam yaitu :
(1)
Pecalang Desa
Pekraman atau Pecalang banjar
pekraman dikenal dengan nama Jagabhaya
Desa, bertugas mengamankan wilayah Desa
Pekraman,
(2)
Pecalang Subak disebut
penglima Toya, bertugas mengamankan
pengaturan pengairan sawah,
(3)
Pecalang Segara
disebut Pecalang Bendega, bertugas
mengamankan wilayah nelayan/pantai,
(4)
Pecalang tabuh
rah disebut juga Sawung Tanggur.
Pecalang niskala diyakini
sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keharmonisan dunia, yang berbeda dengan Desata nawasanga. Pecalang niskala antara
lain :
(1)
Pecalang Ring
Purwa (Arah Timur) bernama Sang Jogor
manik atau disebut juga Bhagawan
Penyarikan,
(2)
Pecalang Ring
Daksina (Arah Selatan) bernama Sang
Dorakala disebut juga Bhagawan
Tembang Pengarah,
(3)
Pecalang Ring
Pascima (Arah Barat) bernama Sang
Citrangkara disebut juga Bhagawan
Anglurah,
(4)
Pecalang Ring
Utara (Arah Utara) disebut Bhagawan
Wiswakarma.
Dalam lontar yang sama, disebut bahwa empat jenis pecalang niskala tersebut dilengkapi lagi empat jenis pecalang niskala dalam kawasan diagonal
arah mata angin yaitu :ring Ersanya (Timur
Laut) pecalangnya adalah Bhuta Adiraksa, Ring Gneyan (Tenggara) pecalangnya adalah bhuta Sariraksa, Ring Neriti (Barat Daya) pecalangnya adalah Bhuta
Astiraksa, dan ring Wayabya (barat
Laut) pecalangnya adalah Bhuta Paduraksa (Suparta, 2001 : 11).
Ketika para pecalang
melaksanakan tugasnya, sebagai ciri khasnya mereka memakai atribut dan
busana yang telah ditentukan. Menurut Widnyani dan I Ketut Widia (2002 : 43-44)
dalam Lontar Purwadigma (catatan ; perlu diteliti lagi karena tidak
disebutkan slokanya) dinyatakan bahwa seorang pecalang setidak-tidaknya mengenakan udeng/destar (ikat kepala) dengan bentuk khusus yang berbeda dengan
udeng yang dikenakan patih sebagai
pejabat kerajaan, mawastra akancut nyotot
pertiwi (memakai kain/kamben dengan
ujung kain menusuk tanah), mekampuh
poleng (memakai saput poleng), anyungkalit keris (menyelipkan keris di
pinggang), dan masumpang waribang (menyelipkan
bunga kembang sepatu/pucuk rejuna yang
berwarna merah ditelinganya). Pada kehidupan nyata masyarakat Hindu di Bali,
secara umum para pecalang sudah
mengikuti yang telah digariskan dalam lontar tersebut, kadang-kadang ditambah
lagi beberapa perlengkapan sesuai dengan kemajuan jaman sekarang, misalnya
dilengkapi peluit/sempritan, pentungan, alat komunikasi radio (handy talky), dan sebagainya.
Dari keterangan para informan terungkap pemakaian saput poleng yang menjadi cirri khas
para pecalang mengandung arti bahwa
seorang pecalang seharusnya selalu
memperhatikan keadaan sekitarnya, dengan tujuan agar dapat mengandalkan
keamanan sesuai tugas yang telah dibebankan kepadanya. Pecalang semestinya bercermin pada saput poleng yang dikenakannya, mengetahuinya adanya rwabineda, keadaan aman dan kacau, baik
maupun buruk, yang selanjutnya melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya
(celang), dapat mengendalikan situasi
sehingga ketertiban Desa Pekraman dapat
diwujudkan.
Pecalang sepatutnya
mampu nyelem-putihang gumi, dalam
arti mampu menjaga dan mengarahkan masyarakat dari kekacauan menuju kedamaian
seperti yang dicita-citakan bersama. Nyoman Kartikayasa (15 Juni 2004) mengartikan
pemakaian saput poleng oleh para pecalang.dikatakan bahwa seseorang yang
telah memakai saput poleng dan
menyatakan diri bersedia mengemban tugas sebagai pecalang, berarti orang itu telah berani mengambil resiko terhadap
akibat-akibat yang mungkin timbul dari tugasnya itu. Dengan kata lain, seorang pecalang sudah memahami tugasnya untuk mengamankan
suatu keadaan yang kacau, dalam hal ini segala resiko yang sangat berbahaya
sudah menghadang di depan mata. Untuk menghadapi bahaya tersebut maka seorang pecalang harus memiliki kekuatan lebih dibandingkan orang-orang
disekitarnya. Secara tersembunyi menandakan pecalang
yang memakai saput poleng berarti
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Pemakaian saput
poleng yang paling umu digunaka adalah saput
poleng sudhamala dengan hiasan tepi di bagian bawahnya, atau saput poleng tridatu dengan hiasan tepi
dibawahnya. Hiasan tepi tersebut mengandung makna bahwa pecalang adalah seorangmanusia biasa yang masih memiliki
batas-batas kemampuan tertentu, artinya tepi itu merupakan batas kemampuan
manusia. Saput poleng tridatu yang
berwarna putih, hitam dan merah merupakan simbolik bahwa manusia masih
dipengaruhi oleh tri guna, yaitu satwa, rajah dan tamah (Made Wena, 16 juni
2004). Hiasan tepi saput poleng para pecalang yang paling umum berwarna merah,
sejalan dengan warna merah pucuk rejuna yang diselipkan di telinganya. Merah
merupakan simbolik keberanian, keperkasaan yang menyiratkan kemampuan lebih.
Berbeda dengan halnya saput poleng yang dikenakan pada
pelinggih sebagai simbolik pecalang niskala kain ini tidak memakai hiasan tepi,
artinya pecalang niskala diyakini memiliki kemampuan yang tanpa tepi, tanpa
batas. Saput poleng yang umum dikenakan pada pelinggih pecalang niskala adalah
saput poleng rwabhineda dan saput poleng sudhamala. Saput poleng rwabhineda
merupakan simbolik bahwa pecalang niskala memiliki kemampuan membedakan buruk
dan baik kemudian memilih yang terbaik. Saput poleng sudhamala mengandung arti
simbolik bahwa pecalang niskala memiliki kemampuan untuk
menjembatani/mengharmoniskan antara yang buruk dengan yang baik, kemudian dapat
mengarahkannya pada kegiatan yang baik, sedangkan saput poleng tri datu
sebaiknya tidak digunakan. Alasannya adalah bahwa manifestasi Tuhan sebagai
pecalang niskala tidak terkena pengaruh tri guna, karena itulah saput poleng
tridatu tidak dijadikan ciri khas pelinggih pecalang niskala. Hanya manusia
yang kena pengaruh triguna, sehingga saput poleng tridatu dipakai oleh pecalang
sekala. Pemakaian saput poleng pada pelinggih pecalang niskala akan diuraikan
dalam pembahasan berikutnya, yaitu pada uraian mengenai saput poleng pada
palinggih.
Apabila pemakaian saput poleng oleh pecalang ini
dikaitkan teori interaksionisme simbolik, maka dapat dikatakan saput poleng
merupakan lambing untuk melakukan komunikasi di dalam masyarakat. Sebagai
lambing, saput poleng memiliki arti tertentu dalam kehidupan social. Saput
poleng sebagai lambing atau symbol telah dimiliki masyrakat bali dan arti yang
terkandung di dalamnya telah disepakati bersama. Hal ini bisa diperhatikan dari
tanggapan masyaraakt terhadap orang yang memakai saput poleng, maudeng khusus,
menyelipkan keris, menyelipkan bunga kembang sepatu merah (pucuk rejuna) di
telinganya, dan mengenakan kain mekancut nyotot pertiwi. Apabila masyarakat melihat
orang mengenakan busana seperti itu, paling tidak dugan pertama tertju pada
orang itu adalah dia seorang petugas keamanan adapt pecalang. Lebih spesifik
akan dilihat saput poleng yang dikenakannya, terselip arti seorang pecalang
harus mempu melihat keadaan yang benar atau salah, yang baik atau buruk,
kemudian dipilih untuk ditegakkan.
Sepanjang pengamatan yang telah dilakukan dan dari
informasi yang diperoleh, ternyata hanya kaum laki-laki yang menjadi pecalang,
sedangkan wanita belum pernah ada. Walaupun budaya Hindu tidak mengenal
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, menurut penulis pecalang perempuan
tidak akan mudah dibentuk karena sangat terkait dengan tata pergaulan social
kemasyarakatan umat Hindu di Bali yang sepertinya telah menetapkan pembagian
tugas antara laki-laki dan perempuan terutama dalam kegiatan adat dan
upacara-upacara Agama hindu.
Rangkuman dari uraian di atas adalah sebagai berikut.
(1)
Pecalang ada
dua jenis yaitu ipecalang sekala (nyata) dan pecalang niskala (tidak nyata/bersifat spiritual). Fungsi atau
tugas pecalang adalah sebagai tenaga
penegak keamanan.
(2)
Pemakaian saput
poleng sebagai symbol kepecalangan (petugas keamanan adapt) mengandung
makna kekuatan, keangkeran, kemampuan sebagai penjaga, kewibawaan dalam
mengembangkan tugas, juga kebijaksanaan, kenetralan (tidak memihak).
2) Saput Poleng pada Pelinggih
Palinggih adalah bangunan suci yang dimiliki oleh umat Hindu, yang
merupakan tempat pemujaan Tuhan atau manifestasi-nya. Pada waktu-waktu tertentu,
yaitu pada hari yang disucikan, umat hindu melakukan pemujaan di depan pelinggih tersebut. Selain berbagai
sajian yang dihaturkan juga digunakan berbagai macam atribut dan kelengkapan
upacara yang selalu menyertai pelaksanaan pemujaan itu, misalnya kain dengan
warna-warna tertentu misalnya ; warna putih, merah, kuning, hitamatau yang
merupakan gabungan dari warna-warna tersebut, kober (sejenis bendera). pajeng
(payung besar), umbul-umbul dan lain sebagainya. Setiap atribut yang
digunakan mengandung arti tersendiri sesuai dengan fungsi palinggih tersebut.
Beberapa dari palinggih-palinggih itu dihias dengan
saput poleng yaitu palinggih tunggun karang (bangunan suci yang berfungsi
sebagai penjaga pekarangan rumah), palinggih ngerurah (salah satu bangunan suci
di mrajan/hulu pekarangan rumah). Palinggih pasedahan (salah satu bangunan suci
di pura), palinggih ulun pangkung (tempat suci di ujung jurang), palinggih
dipersimpangan jalan, dan palinggih-palinggih lain yang berfungsi sebagai
tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai penjaga. Kalau diperhatikan
penggolongan jenis-jenis pecalang di depan (menurut Lontar Purwadigma), maka
pemujaan manifestasi tuhan dalam palinggih ini dapat dikategorikan sebagai
pecalang niskala.
Menurut Mangku sira (11 Juni 2004) penggunaan saput
poleng pada palinggih tunggun karang merupakan cirri dari kekuatan Tuhan yang
dipuja di sana
sebagai penjaga. Tunggun Karang adalah tempat pemujaan sedahan pekarangan
(jabatan bagi pelindung pekarangan). Dengan adanya pelindung pelindung dalam
rumah tangga ini diharapkan semua penghuni pekrangan rumah mendapat keamanan,
sehingga mereka dapat hidup tenang. Kehidupan yang tenang sangat didambakan
umat dalam menjalani hidup ini untuk mewjudkan tujuan hidupnya yaitu “moksartam jagadhita ya ca iti dharma” yakni
untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan menyatunya atma atma dengan Tuhan. Saput poleng dikenakan pada palinggih ini
merupakan cirri khas yang mencerminkan tugas keamanan. Warna poleng rwabhineda,
yaitu putih dan hitam merupakan cirri rwabhineda yang merupakan simbolik dari
aman dan kacau, baik dan buruk, artinya pemakaiannya tahu dua keadaan tersebut
yang selanjutnya diharapkan keamanaan dan kebaikan itu dapat dipilah dan
dipilih kemudian ditegakkan untuk memperoleh kehidupan yang harmonis.
Jika saput poleng yang digunakan adalah saput poleng
sudhamala, yaitu yang berwarna putih, abu-abu, dan hitam, maka dari cerminan
tiga warna itu diharapkan kekuatan Tuhan atau manifestasinya yang dipuja disana
mengetahui baik dan buruk, aman dan kacau, sebagai rwabhineda. Selanjutnya
berdasarkan pengetahuan rwabhineda itu diharapkan Beliau menjembatani keduanya
supaya memberikan kehidupan yang dinamis bagi manusia. Warna abu-abu merupakan
peralihan dari hitam dan putih, sebagai penghubungnya, yang mengandung makna
mengubah kekacauan menjadi keamanan yang dinamis untuk kepentingan hidup
manusia. Ditambahkan bahwa sebaiknya tidak menggunakan saput poleng tridatu
pada palinggih-palinggih, karena poleng tridatu merupakan cerminan tri guna
yang hanya dimiliki manusia atau mahluk lain yang tingkatannya lebih rendah.
Keterangan yang senada juga dungkapkan oleh I Wayan
Selem (8 Mei 2004). Kalau di sekala (dalam kehidupan nyata) ini masyarakat
mempunyai petugas pengaman yaitu pecalang, maka dalam dunia niskala (kehidupan
di alam lain) mestinya juga ada petugas keamanan, tugas tersebut utamanya di
dalam pekarangan rumah diserahkan kepada sedahan karang yang dipuja pada
palinggih tunggun karang. Tugas yang sama juga diharapkan terlaksana pada
manifestasi Tuhan yang dipuja dipalinggih ngerurah, yaitu salah satu palinggih
yang ada disanggah atau merajan (tempat suci di hulu pekarangan). Palinggih ini
dihiasi dengan saput poleng mengandung makna bahwa yang dipuja di sana memiliki kemampuan
untuk nyelem putihang keadaan. Maksudnya dapat menjadikan keadaan yang mengarah
pada warna hitam atau putih, keburukan atau kebaikan, artinya memiliki kekuatan
untuk menjaga keamanan.
Dari uraian tersebut dapat diaktakan hal-hal sebagai berikut.
(1)
Pemakaian saput poleng pada palinggih-palinggih ini
berfungsi sebagai penjagaan, seperti pecalang. Pecalang yang dimaksud dalam hal
ini adalah pecalang niskala.
(2)
Pecalang niskala adalah kekuatan Tuhan yang dipuja dan
dihadirkan atau diminta hadir dalam pelinggih.
3) Pemakaian Saput Poleng pada Jro Dalang
Pertunjukan wayang kulit merupakan
kesenian tradisional Bali yang banyak digemari
masyarakat. Dalam perkembangannya, seni wayang kulit tidak semata-mata untuk
hiburan tetapi juga untuk kepentinga pembinaan rohani (Karang, 1996 : 1).
Wayang kulit adalh sebuah seni ukiran yang terbuat dari kulit dengan bentuk
berbagai tokoh wiracarita. Kisah yang dipentaskan sebagaian besar diambil dari
cuplikan wiracarita Ramayana dan Mahabrata dalam pementasannya wayang
kulit ini dimainkan oleh seorang dalang yang di Bali
dikenal dengan sebutan Jro Dalang.
Wayang kulit dipentaskan
kadang-kadang sebagai hiburan semata, tetapi lebih banyak dipentaskan terkait
dengan sebuah upacara, misalnya dipentaskan ketika melaksanakan upacara odalan (peringatan
kelahiran pura), dipentaskan sehubungan dengan upacara otonan (peringatan hari
lahir berdasarkan wuku), atau upacara-upacara lainnya. Menurut Karang (1996 :
2) upacara otonan pada anak yang lahir pada wuku wayang (wuku wayang adalah
salah satu nama mingguan menurut kalender Bali)
semestinya dilengkapi dengan pementasan wayang sapuh leger. Hal ini dimaksudkan
untuk membebaskan anak yang lahir dalam wuku wayang, dari mala petaka akibat
gangguan-gangguan yang membahayakannya. Pementasan wayang sapu leger tidak saja
dilakukan di Bali, tetapi juga dilaksanakan di
Jawa yang disebut Ngeruwat atau Ngelukat (penyucian).
Menurut Jro Dalang Ida Bagus Rai
Keramas (dalam Karang, 1996 ; 42) disebutkan ada tiga jenis pementasan wayang
kulit yaitu ; wayang kulit biasa, wayang kulit sudhamala dan wayang kulit sapuh
leger. Wayang kulit biasa adalah pertunjukan sebagai hiburan atau pelengkap
upacara, wayang kulit sudhamala adalah pementasan wayang kulit yang khusus
dilaksanakan untuk memohon penglukatan atau penyucian dalam kaitannya dengan upacara
Pitra Yajna, Dewa Yajna (jenis-jenis
upacara di Bali) sedangkan wayang kulit sapuh leger dimaksudkan untuk ngeruwat
atau ngelukat (menyucikan) anak yang lahir dalam wuku wayang agar terhindar
dari mara bahaya atau bencana.
Menurut Karang (1996 : 51) dalam Lontar
kala Purana disebutkan cerita Sapuh
leger yang ringkasannya sebagai berikut. Pada suatu hari Dewa Siwa bersama
istrinya Dewi Uma bercengkrama di tepi laut. Dalam kebahagiaannya itu timbullah
hasrat Dewa Siwa untuk bersetubuh dengan Dewi Uma, tetapi ditolak.. karena
terusdirayu akhirnya mau juga, hal itu dilakukan ditepi laut. Pada saat itu
Dewa Siwa bergelar Sanghyang Randu Maya.
Pertemuan tersebut menghasilkan putra
yang diberi nama Bhatara kala yang berwujud raksasa. Waktu kecil Bhatara kala
diasuh oleh Dewa Baruna bersama Naga Ananta Boga. Ketika sudah dewasa Bhatara
Kala ukuran badannya besar sekali dengan dengan wajah yang menakutkan. Suatu
ketika Bhatara Kala menanyakan ayah dan ibu-nya kepada Dewa Baruna. Atas
pertanyaan itu diceritakanlah ayah dan ibu Bhatara Kala yang sebenarnya adalah
Dewa Siwa dan Dewi Uma yang berada di sorga.
Mendengar keteranga itu Bhatara Kala
memutuskan untuk berangkat ke sorga menemui ayah dan ibu-nya. Setelah tiba di
sorga Bhatara kala dihafang oleh para pencaga pintu sorga seperti Sang jogor
Manik dan Sang Cikra Bala. Karena hadangan itulah maka timbullah pertempuran
antara Bhatara Kala dengan penghuni sorga, yang dimenangkan oleh Bhatara Kala.
Atas kejadian itu Dewa Siwa menemui Bhatara Kala, selanjutnya mengakui sebagai
anaknya. Setelah beberapa lama tinggal di sorga, Bhatara kala sering
menimbulkan keributan, ysng membuat kehidupan para Dewa tidak tenang.
Atas inisiatif Dewa Siwa, Bhatara
Kala disuruh turun ke dunia. Perintah itu tidak ditolak asalkan Dewa Siwa
memberikan suatu kekuasaan atau kewenang kepada Bhatara Kala. Saat itu pula
anugrah diberikan kepada Bhatara Kala yang isinya Bhatara Kala boleh memakan :
anak yang lahir dalam Wuku Wayang, anak yang berjalan pada tengai tepet (tengah
hari), atau orang yang berjalan pada waktu sandya kala (waktu peralihan sore
dan malam). Atas anugrah itu Bhatara Kala mohon pamit selanjutnya turun ke
dunia.
Setelah Bhatara Kala sadarlah Dewa
Siwa atas ucapannya tadi. Beliau baru ingat bahwa putranya yang paling kecil yaitu
Sanghyang Kumara lahir pada Wuku Wayang, bisa jadi menjadi santapan Bhatara
Kala. Pencegahan terhadap kemungkinan itu dilakakukan dengan memerintahkan
Sanghyang Kumara menjelma pada kelahiran putra Prabu Medang Kemulan yaitu Rare
Subrate, yang akan lahir ada Saniscara Wuku wayang. Diperintahkan juga Dewa
Wisnu menjelma menjadi Jro Dalang Samirana untuk menyelamatkan penjelmaan
Sanghyang Kumara ini.
Ketika kelahiran Rare Subrata tiba,
yaitu tepat pada Saniscara Wuku Wayang, maka Bhatara Kala dengan cepat mencari
adiknyatersebut untuk dimakan. Mengetahui dirinya dikejar untuk dimangsa,
penjelmaan Sanghyang Kumara ini lari tungang langgang untuk menyelamatkan diri,
kemudian bersembunyi di timbunan sampah. Bhatara Kala mencoba menangkapnya
tetapi Sanghyang Kumara berhasil melarikan diri. Bhatara Kala murka, lalu
mengutuk setiap orang yang membuang sampah sembarangan agar terserang penyakit.
Pengejaran kembali dilanjutkan,
Sanghyang Kumara bersembunyi disana sini untuk menyelamatkan diri. Mengetahui
keadaan itu , Dewa Siwa merasa perihatin terhadap Sanghyang Kumara, kemudian
beliau turun bersama Dewi Uma. Saat itu matahari sedang berada di atas langit,
terlihat oleh Bhatra Kala ayah dan ibunya sedang berjalan. Ingat akan kekuasaan
yang diberikan, timbullah keinginan untuk memakan ayah dan ibunya. Tetapi
berkat kecerdikan Dewa Siwa untuk mengulur waktu sampai lewat tengah hari,
Bhatara Kala urung memangsa ayah dan ibunya.
Pengejaran kembali dilakukan terhadap
adiknya, pada suatu kesempatan Sanghyang Kumara menjumpai seorang dalang wayang
kulit yang sedang pentas, di sanalah Sanghyang Kumara meminta perlindungan. Jro
Dalang untuk bersembunyi dalam bumbung gender wayang (selinder gemelan). Ketika
Bhatara Kala tiba di tempat pertunjukkan itu, dilihatnya banten (sajian) dengan
berbagai lauknya yang banyak, tanpa berpikir panjang Bhatara Kala menyantap
sajian itu dengan lahap. Setelah kenyang ditanyakanlah keberadaan adiknya
kepada Jro Dalang. Dijelaskan keiginan Bhatara Kala untuk memakan adiknya atas
anugrah Dewa Siwa, namun Jro Dalang yang tidak lain adalah penjelmaan Dewa
Wisnu mengatakan bahwa jika hendak tetap memakan Sanghyang Kumara maka
kembalikanlah dahulu sajian wayang yang telah dimakan Bhatara Kala dalam
keadaan utuh seperti semula. Namun Bhatara Kala tidak dapat memenuhi permintaan
Jro Dalang itu. Merasa telah bersalah telah menyantap sajian wayang tersebut,
maka Bhatara Kala berjanji tidak akan memakan Sanghyang Kumara. Akhirnya
Sanghyang Kumara selamat dari bencana berkat bantuan Jro Dalang.
Dalam tulisan yang berbeda dengan
topic yang sama, Tapa ( dalam majalah Yudistira edisi perdana, 2001 : 53 – 57)
menguraikan dalam episode ini Bhatra Kala yang telah memakan banten dan caru
(sajian) yang ada di depan pementasan wayang kulit. Anugerah tersebut adalah wastu kaki dalang nemu rahayu, memanah suci
nirmala, yogi nglukat wongmercepada apang nemu kedirga yusan, muah nglukat wong
mati apang keturunan nyane nemu rahayu (agar Jro Dalang mampu memberikan
penyucian kepada masyarakat yang meminta bantuannya untuk keselamatan dan
penyucian orang mati agar keturunannya selamat).
Demikian diceritakan sehingga sampai
saat ini masih ada keyakinan masyarakat bahwa Jro Dalang dapat diminta
bantuannya untuk mementaskan wayang kulit dengan lakon Sapuh Leger. Pementasan
wayang kulit Sapuh Leger ini dilakukan ketika upacara otonan seorang anak yang
lahir pada wuku wayang. Tunuannya adalah untuk menyelamatkan anak itu dari
berbagai gangguan niskala. Dalam pementasan inilah Jro Dalang menggunakan saput
poleng untuk menunaikan tugasnya.
Makna yang tergandung dalam pemakaian
saput poleng oleh Jro Dalang ini adalah bahwa peranan jro Dalang dalam hal ini
mirip seperti dokter jiwa yakni memberikan yakni memberikan keyakinan secara
psikologis kepada masyarakat yakni dengan sarana wayang sapuh leger dapat
memberikan ketenangan karena mara bahaya dapat terhindar dari anak yang telah
diupacarai (wawancara dengan I Nengah Suena Karang, 9 juni 2004 ; I Wayan
Selem, 18 Juni 2004). Kalau pendapat ini dikaitkan dengan teori structural
fungsional maka dapat diaktakan keberadaan institusi Jro Dalang yang merupakan
subsistem dari Desa Pekraman sangat menentukan stabilitas Desa Pekraman sebagai
sistemnya.
Peranan Jro Dalang ini dapat
disejajarkan dengan lembaga kesehatan jiwa seperti psikiater dan psikolog.
Apabila institusi jro Dalang sebagai subsistem yang menentukan stabilitas
sistemnya yang lebih besar.
Jika diperhatikan cerita Sapuh Leger
di depan, yaitu kemarahan Bhatara Kala kepada orang yang membuang samapah
sembarangan sehingga mengutuk mereka agar kena bencana, makadapat dikatakan
mitos ini merupaka sarana pendidikan masyarakat untuk menjaga kebersihan
lingkungannya. Lingkungan yang bersaih secara langsung akan meningkatkan
kesehatan masyarakat sekitarnya. Demikian juga tentang kewenangan Bhatara Kala
untuk memakan siapa saja yang berjalan pada waktu tengai tepet dan sandya kala,
hal ini merupakan peringatan bagi umat hindu bahwa wktu-waktu tersebut
merupakan waktu yang rawan, masing-masing adalah waktu peralihan antara pagidan
sore, dan waktu peralihan sore dan malam hari. Dengan demikian dapat dikatakan
makna yang terkandung dalam cerita ini sarat dengan nilai-nilai pendidikan.
Berikut ini adalah rangkuman dari uraian diatas.
(1)
Pemakaian saput poleng oleh Jro Dalang mengandung arti
bahwa Jro Dalang melakukan tugasnya untuk melakukan penyucian pembebasan
(pengrwatan) dari gangguan roh jahat bagi anak kecil yang lahir pada Wuku
Wayang.
(2)
Dengan demikian saput poleng yang pantas dipakai oleh
Jro Dalang adalah saput poleng sudhamala, sebab kata sudhamala sendiri berarti
suci dari kekotoran (mala).
4) Saput Poleng pada Arca
Seni arca di Bali
sudah menjadi kekaguman para turis, hal ini terlihat dari respon masyrakat yang
memajang berbagai bentuk arca atau patung di sepanjang jalan raya ang
seringdilalui turis. Tujuan pemajang itu tiada lain untuk menarik minat
pembeli. Pulau Bali yang dikenal dengan nama “Pulau Seribu Pura”, memiliki
banyak pura dan hamper semua pura memiliki arca didalamnya. Bagi umat Hinduarca
merupakan salah satu sarana yang dipaki untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan
atau manifestasinya. Hal ini dilakukan oleh kebanyakan bhakta (penyembah) yang
tingkat kerohaniannya masih rendah. Berbeda dengan para ghakta yang telah
tinggi tingakat kerohaniannya, mereka tidak lagi memerlukan sarana untuk memusatkan
pikiran pada pujaannya yaitu Sang Hyang Widhi (Tuhan).
Pembuat arca yang memenuhi syarat selalu mengikuti
petunjuk sesuai dengan ilmu yang disebut Ikonologi. Ikonologi sangat terkait
dengan ikonografi. Ikonografi berarti rincian suatu benda yang menggambarkan
tokoh Dewa atau seorang keramat dalambentuk suatu lukisan, relief, mosaic, arca
atau benda lainnya (Sahai, 1975 : 1-2). Berbagai bentuk tokoh yang diwujudkan
sesuai dengan persyaratan ikonografi tersebut, memiliki cirri-ciri khusus yang
dibelakangnya mengandung makna yangsangat dalam. Menurut Erwin Panofsky
(Maulana, 1997 : 1) dalam kesenian dikenal adanya tiga tingkatan makna.
Pertama, bertalian dengankeadaan alam, pengetahuan tentang berbeda-beda,
bangunan, keindahanalam, dan sebagainya. Setiap seniman akan melihat suatu
benda dalam hubungannya dengan benda lainnya suatu benda kesenian dapat
diketahui arti yangsesungguhnya. Kedua, meliputi motif-motif karya seni serta
arca-arca. Tingkat ini merupakan bidang ikonografi, dalam artisempit untuk
mengetahui makna yang melatarbelakangi pembuatan arca. Tingkat ketiga adalah
prinsip-prinsip nilai simbolis.
Pengertian ikon (berasal dari bahasa Yunani, eikoon yang berarti bayangan, potret,
atau gambaran) dalam ikonografi hindu ditafsirkan pada tokoh yang digambarkan
dan kemiripan tokoh yang dinyatakan dalam gambar dengan tujuan untuk megadakan
hubungan dengan tokoh atau dewa tersebut (Banerjea seperti dikutip Maulana,
1997 : 1). Ikonografi Hindu mempunyai peranan yang sangat penting dalam
peribadatan karena itu dimasukkan dalam keagamaan yang terikat oleh
aturan-aturan. Aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan ikonografi sampai
ikonometrinya terdapat dalam beberapa kitab Agama,dengan ketentuan yang
bertingkat-tingkat dan ada pula ketentuan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Ketentuan-ketentuan yang tidk dapat di ubah erat
kaitannya dengan identitas dewa yang bersangkutan dan dalam hal ini disebut
cirri-ciri pokok, sedangkan penyimpangan terhadap hal ini disebut variasi
cirri. Penyimpangan atau variasi cirri mungkin terjadi sebagai akibat perbedaan
waktu, wilayahatau aliran-alira keagamaan yang mlatar belakangi (Maulana, 1997
: 3). Berdasarkan penjelasan ini dapat diterima apabila dijumpai beberapaarca
yang berfungsi sama namun digambarkan dengan beberapa perbedaan. Hal inisangat
mungkin dipengaruhi oleh seni yang dimiliki pemahatnya dan variasi cirri yang
dimaksud tersebut.
Berdasarkan pengamatan dilapangan ternyata dijumpai
beberapa jenis arca yang dihias dengan saput poleng. Araca-arca tersebut
antaranya : arca dipersimpangan jalan, arca-arca penjaga pintu gerbang pura
(dwarapala), arca-arca diujung jembatan arca yang dipasang diulun pangkung
(dihulu jurang) dan arca-arca ditempat lainnya. Berdasarka tabiatnya arca-arca
dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu arca raudra dan arca santa (tenang,
damai). Arca-arca tadi dapat digolongkan kedalam arca yang bersifat raudra atau
augra artinya menakutkan atau dahsyat. Arca-arca yang bersifat raudra dipuja
oleh pemujanya apabila mencapai tujuannya dilakukan dengan jalan kekerasan.
Gambaran arca dalam benrtuk ini misalnya : bertaring panjang, berkaki panjang,
mata melotot/terbelalak, bertangan banyak masing-masing memegang senjata,
mempunyaiagni mandala (bingkai api),dalam beberapa hal dihiasi
tengkorak-tengkorak dan tulang (Maulana, 1997:55-560. Secara umum dapat
dikatakan memiliki cirri-ciri yang menyerupai raksasa.
Hooykaas (1980:8) menemukan dipersimpangan jalan di Bali ada arca-arca Dewi Durga yang menakutkan. Arca ini
pasti memiliki fungsi penolak bala di tempat-tempat berbahaya ini. Pintu masuk
ke pura dilindungi dan di hiasi dengan figure-figur penjaga dimaksudkan sebagai
cara terbaik ubtuk pertahanan terhadap monster jahat. Dipastikan semua patung
ini mempunyai tujuan magis. Ditekankan bahwa adalah keliru mengira
patung-patung di pura-pura dipasang sebagai asesoris/tmbahan kepercayaan (cult)
atau subjek pemujaan.
Arca Narasinga Murti yang terdapat di
catuspata/pempatan agung (persimpangan jalan) di depan kantor Buati Bangli
dalam kesehariannya dihias dengan saput poleng. Arca ini melukiskan ciri arca
raudra, yaitu kedahsyatan Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia-singa untuk menyerang Hiranyakasipu salahsatu
pengikut Dewa Siwa (Maulana, 1997:56)
Dalam kitab Kurma Purana (debroy, Bibek dan
Dipavali Debroy, 2002 :51-53) diceritakan keberhasilan Narasinga mengalahkan
raksasa Hiranyakasipu. Berikut adalah ringkasannya. Hiranyakasipu berhasil
menyenangkan Dewa Brahma melalui tapanya. Atas keberhasilan itu Dewa Brahma
menganugrahkan kesaktian kepada Hiranyakasipu. Hiranyakasipu yang bersifat
angkara murka ini mengacaukan ketenangan dunia dan berusaha menguasai sorga.
Para Rsi meminta bantuan ke pada Dewa Brahma untuk memusnahkan keangkaramurkaan
hiranyakasipu, namun anugerah yang telah diberikan kepada hiranyakasipu tidak
dapat ditarik Dewa Brahma. Untuk itu disarankan meminta bantuan kepada Dewa
Wisnu agar Dewa Wisnu menciptakan mahluk sebesar gunung Semeru yang memegang
bunga padma (lotus), sangka (terompet) dan sebuah gada 9pemukul) ditangannya.
Mahluk ini mengendarai garuda meuju tempat Hiranyakasipu. Dalam pertempuran
dengan Hiranyakasipu, mahluk ciptaan Dewa Wisnu ini kalah. Akhirnya Dewa Wisnu
ini sendiri maju ke medan
laga dengan cara menjelma menjadi manusia berkepala singa. Dalam penjelmaannya
itu Dewa Wisnu disebut Narasimha atau Narasinga. Nara artinya orang/manusia, simha artinya
singa. Pertempuran berhasil dimenangkan oleh Narasinga dengan kematian
Hiranyakasipu yang terbelah dadanya oleh cakar Narasinga.
Sehubungan dengan fungsi arca di pempatan agung, suwena
(dalam Atmaja editor, 2003 ; 46-47) mengatakan bahwa orang Bali mengenal konsep
rwabhineda sebagai unsure dualistic yang terwujud dalam oposisi pasangan yang
bersifat universal yaitu utama (yang mengandung nilai tinggi) yang
dipertentangkan dengan nista (yang mengandung nilai renah). Dalam pola piker
orang Bali, adanya kecenderungan tidak memihak
atau memilih hal-hal yang memiliki nilai utama/tinggi maupun bernilai
nista/rendah adalah merupakan bagian dari keseluruhannya. Oleh karena itu tidak
ada yang bernilai utama jika tidak ada nista.
Dalam hubungan ini kehidupan orang Bali
dituntut untuk mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang berlawanan itu
sehingga tidak ada salahsatu mencapai nilai lebih tinggi atau sebaliknya lebih
rendah. Jadi klasifikasitiga itu merupakan tri-tunggal, yang berarti walau
sesuatu dibagi menjadi tiga sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Disimpulkan bahwa klasifikasi tiga yang mengandung nilai utama, madya, dan
nista (tinggi, sedang dan rendah) ini mendasari pola piker, perasaan, perilaku
atau tindakan orang Bali yang tercermin dalam orientasi arah di Bali.
Dalam kaitan orientasi arah ini I Wayan manggih 910
Juni 2004) mengatakan bahwa di daerahnya yaitu Kecamatan Gianyar khususnya dan
di Bali umumnya dikenal adanya dua jenis arah yaitu : kaja dan kelos, kangin
dan kauh, ulu dan teben, gunung dan segara, yang semuanya itu menunjukkan dua
jenis arah mengandung arti arah yang suci danarah yang leteh, yang utama dan
yang nista. Dua arah yang suci dan arah yang leteh, yang utama dan yang nista.
Dua arah yang bertentangan ini merupakan rwabhineda sebagai kesatuan yang tidak
disebut madya (tengah). Dengan dekmikian arah madya merupakan perantara bagi
dua arah yang berlwanan. Apabila dua pasang rwabhineda arah ini dipertemukan,
misalnya arah kangin-kauh (timurdan barat) dipersilangkan dengan arah
kaja-kelod (arah utara dan selatan) maka terbentuklah persilangan dua dalamsatu
titik yang disebut pempatan atau pempatan agung. Pempatan agung atau catuspata
merupakan areal keramat tempat beberapa upacara dilaksanakan, misalnya upacara
ngulapin yaitusejenis upacara memohon keselamatan kepada Tuhan. Keselamatan itu
dimaksudkan terkait dengan perjalanan manusia di jalan raya.
Catuspata atau pempatan agung di Bali
memiliki banyak fungsi antara lain : sebagai jalur lalu lintas manusia dan
kendaraan, kegiatanritual hinduseperti : pecaruan, tawur kesanga, tawur agung
(upacara untuk keseimbangan alam), pamarisudha bumi (upacara pembersihan bumi),
enghidupkan aji pangiwe (ilmu hitam), mlaspas wadah (penyucian tempat
pembakaran mayat) dan lain-lainnya. Setiap kota
kabupaten di Bali memiliki pempatan agung yang
merupakan pusatkota. Masing-masing pempatan agung ini memiliki nilai historis
sendiri. Memperhatikan tempat ini akan dapat dilihat sejarah kota masing-masing, melihat ruang public
tradisional seperti pasar, lapangan, puri atau keratin dan unsur-unsur
pendukung lain dalam kaitannya untuk membangkitkan kekuatan magis alam raya
(Jiwa Atmaja,dalam Atmaja editor, 2003 ; 22-23).
Mugi Raharja menyoroti pelaksanaan ritual caru
dipempatan agung ini mengatakan bahwa pecaruan yang dilaksanakan umat Hindu
merupakan kurban yang ditunjukkan kepada mahluk alam bawah (bhuta yadnya), agar
tidak merusak atau mengganggu tatanan kehidupan dialam kosmos. Pelaksanaan
upacara ini dilakukan sesuai dengan konsep tri hita karana, untuk menjaga
keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan atara manusia dengan
manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungan dan mahluk alam bawah
yangada. Pempatan agung sebagai pusat pemukiman penduduk, mempunyai makna yang
tinggi. Wilayah ini adalah persilangan orientasi religi sumbu bumidan sumbu
matahari yang setara dengan titik pusat koordinat yang dimiliki nilai “nol”.
Konsep ruang dalam keyakinan hindu, nilai “nol” tidak berarti kosong, tetapi
seperti buah kelapa kosong yangada isinya (nyuh puyung sugih), atau seperti
manik ring cecupu (isi danwadah), terlihat kosong tetapi ada isinya. Konsep
ruang ini sama dengan ketuhanan, “ada dan tiada”, ada tetapi tidak terlihat.
Dengan demikian dalam konteks ini “titik nol” dalam konsep ruang itu berarti
kosong, tetapi bermakna “maha sempurna” (Bali Post, 6 April 2003 : halaman 7
kolom 1-9).
Menurut Mangku Sira (11 juni 2004) pemakaian saput
poleng pada arca di catuspata/pempatan (persimpangan jalan) merupakan symbol
pertemuan antara akasa dan pretiwi yaitu pertemuan antara langit dan bumi, yang
keduanya adalah refleksi dari rwebhineda. Langit atau akasa merupakan symbol
tempatnya Dewata atau dunianya Tuhan yang disucikan, sedangkan pertiwiatau bumi
adalah dunianya manusia. Melalui arca di catuspata inilahsering diakukan
pemujaan kepada Tuhan sebagai sarana yang menghubungkan antara bumi dan langit.
Bumi sebagai tempat manusia merupakan wilayah yang profane, wilayah biasa,
sedangkan catuspata sebagai pusatnya pemukiman atau pusatnya wilayahdesa adat
merupakan jalan terdekat untuk berhubungan dengan langit yaitu wilayah yang
suci (sakral). Jadi bumi dihubungkan dengan langit dengan catuspata melalui
arcanya yang menjulang tinggi. Bumi atau pertiwi yang diyakini sebagai wilayah
profane dan langit atau akasa sebagai wilayah sacral dihubungkan dengan
catuspata sebagai madyaning bhuana (pusatnya dunia).
Pertemuan akasa-pertiwi, sacral-profan, atau
suci-leteh (brsih-kotor), sebagai konsep rwabhineda, diungkapkan dengan symbol
saput poleng yang dililitkan pada arca ditengah perempatan agung ini menurut
jro Mangku yang Mantan Lurah Kawan ini, apabila yang dililitkan adalah saput
poleng rwabhineda, itu menyimbolkan akasa-pertiwi, sedangkan apabila yang
dililitkan saput poleng sudhamala hal itu berarti adanya rwabhineda yang
dihubungkan dengan penengah/perantara. Dengan demikian adanya rwabhineda
janganlah dianggap pertentangan yang ekstrim, namun perlu diartikan sebagai
perbedaan yang akan membuat segala sesuatunya menjadi dinamis. Demikian
penjelasan yang diperoleh dari Jro Mangku yang juga kelian adat (ketua) banjar
pule ini.
Selain arca-arca di persimpangan jalan, arca-arca
yangsering dililit dengan saput poleng adalah arca-arca yangditempatkan didepan
pintu gerbang sebuah pura. Pintu masuk tempat suci (pura) di Bali
biasanya dilengkapi dua buah arca atau lebih, di sisi kanan dan kiri candi
bentar atau candi kurung/gelung agung (pintu gerbang) pura itu. Dua arca yang
ada di sisi kanan dan kiri pintu gerbang ini disebut pengapit lawang atau
dwarapala. Kalau di Jawa penjaga pintu inidisebut reco pentung (arca yang
membawa pentungan) (Titib, 2001 : 265).
Arca dwarapala umumnya berbentuk raksasa dengan
senjata gada pada salah satu tangannya. Gada adalahsalah satu alat pemukul yang
mirip prmukul kasti untuk alat pukul jarak pendek.sikap badannya digambarkan
berdiri siap memukul (Maulana, 1997 : 38). Menurut titib (2001 : 365) selain
gada, kadang-kadang dwarapala dilengkapi senjata danda 9tongkat) pada salah
satu tangan arca ini. Gada atau danda melambangkan tanggung jawab untuk
mengendalikan dan menghukum mereka yang jahat (yang memasuki kawasan suci) dan
tongkat menunjukkan kekeuasaan dari dewata utama pada pura tersebut.
Ditambahkan bahwa fungsi dari arca dwarapala adalah untuk melindungi tempat
suci.
Pada tempat suci bagi pengikut Waisnawa terdapat tiga
pasang dwarapala yaitu : Candha dan Prachanda, pada kiri kanan pintu gerbang
halaman paling tengah (jeroan), Jaya dan Wijaya pada kiri dan kanan pintu
gerbang halaman tengah (jaba tengah), dan arca Purna dan Puskara pada sisi kiri
dan kanan pintu gerbang halaman pura paling luar (jaba sisi). Chanda dan
Prachanda wujudnya membangkitkan rasa hormat (bhayanakau), fantastis
(wirupaksau), masing-masing memiliki dua tangan, menggunakan mahkota dan
hiasan.
Jaya dan Wijaya masing-masing digambarkan memiliki
empat tangan, tangan atas keduanya memegang sangka dan cakra, sebagai ciri
waisnawa. Tangan depan bawah masing-masing membawa gada(pentungan) dalam sikap
berdiri memberi peringatan (tarjanihasta). Mereka memiliki taring, sikapnya
tegang, namun membangkitkan rasa hormat. Jaya kulitnya berwarna kemerahan,
sedangkan wijaya kekuning-kuningan. Dalam teks Naradiya Samhita 13.329
(dalam Titib, 2001 : 336) disebutkan
bahwa dwarapala tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk arca atau dimohon
kehadirannya (dibayangkan hadir) pada waktu upacara (dhyayadva karayed vapi).
Sehubungan dengan saput poleng yang dililitkan pada
arca dwarapala ini I Wayan Selem (18 Juni 2004) mengatakan bahwa arca ini
merupakan penjaga tempat suci dari gangguan luar yang berkeinginan mencemari
atau merusak kesucian kawasan ini. Saput poleng yang dikenakan arca dwarapala
ini memiliki makna yang sama dengan saput poleng yang diakai para pecalang,
yaitu para penjaga atau kekuatan penjaga yang diharapkan umat Hindu telah
mencerminkan kemampuan dwarapala untuk “nyelem-putihang” keadaan (maksudnya
membuat keadaan menjadi jelas, hitam atau putih, kacau atau aman, buruk atau
baik). Sesuai fungsinya sebagai penjaga diharapkan dwarapala mampu menjaga
kesucian dan keamanan pura. Saput poleng yang digunakan arca inidapat dijadikan
sarana pendidikan bagi umat hindu khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Maksudnya adalah bagi orang yang melihat dwarapala yang dilengkapi busana saput
poleng, seharusnya sudah dapat membayangkan ada penjaga didepan pintu itu.
Dengan kata lain mereka seharusnya sudah berpikir bahwa ada sesuatau yang harus
diamankan, yakni sebagai tempat yang patut disucikan. Dengan demikian symbol
ini dapat dijadikan sarana pendidikan etika bagi masyarakat, kata guru yang
juga berprofesi sebagai dalang wayang kulit ini.
Mangku Sira (11 Juni 204) mengatakan bahwa arca
penjaga yang mengenakan saput poleng di depan pura, merupakan simbol rwabhineda
antara dijeroan dan di jaba (wilayah di dalam para dan wilayah di luar pura).
Artinya ada perbedaan nilai kesucian di antara kedua tempattersebut. Jeroan
adalah wilayah yang sudah di batasi tembok panyengker (tembok keliling) yang
pembangunannya telah mengalami penyucian melalui upacara pamelaspas dan
upacara-upacara lainnya untuk menghadirkan para dewa. Jadi areal ini dapat
dikatakan sebagai tempat persemayaman Tuhan, sebagai kawasan suci, yang pingit, yaitu tempat yang sacral
sedangkan di luar jeroan ini, di luar tembok panyengker adalah kawasan yang
dihuni manusia, merupakan wilayah
kegiatan manusia sehari-hari, wilayah yang biasan, yakni jaba sisi, sebagai
wilayah profan. Jeroan dan jaba sisi adalah dua wilayah yang mempunyai
karakteristikyang bertentangan, yang suci dan yang leteh, yang sacral dan yang
profane, namun diantara keduanya diselingi dengan areal penghubung yang disebut
jaba tengah, berfungsi sebagai perantara bagi yang sacral dengan yang profan.
Dengan demikian menurut Kelian Banjar Pule yang juga Jro Mangku Batugaing ini,
saput poleng yang pantas di kenakan pada arca dwarapala adalah saput poleng
sudhamala, yaitu saput poleng yang berwarna tiga yaitu : putih, abu-abu, dan
hitam. Tiga warna ini dapat melambangkan tiga mandala (kawasan) yaitu ; jeroan,
jaba tengah, dan jaba sisi. Saput poleng sudhamala ini tanpa hiasan tepi,
maknanya adalah kekuatan para penjaga ini tanpa batas. Ditambahkan bahwa arca
dwarapala berbentuk raksasa mengandung pengertian penjaga, sebab kata “raksasa”
identik dengan kata “raksa” yang artinya menjaga atau menerima, di samping
mempunyai pengertian lainnya.
Dari keterangan di depan dapat dikatakan bahwa
pemakaian saput poleng pada arca-arca ini menyiratkan fungsi penjagaan, yaitu
untuk menjaga dua hal yang bertentangan, yaitu menjaga kesucian dari kekotoran,
menjaga kebaikan dari keburukan, termasuk menjaga kesakralan dari keprofanan.
Yang suci (bersih) dipisahkan dengan yang leteh (kotor) melalui tembok
panyengker (tembok pembatas keliling), atau areal yang suci dengan areal yang
leteh ini dipisahkan dan dihubungkan dengan areal perantara, yakni areal jeroan
sebagai yang suci, areal jaba sisi sebagai yang leteh, dihubungkan dengan areal
jaba tengah sebagai mediatornya. Keamanan sebagai salah satu komponen untuk mendapatkan
kesucian, karenanyalah keamanan ini perlu ditegakkan oleh para penjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar